22 ) Hyukjae

84 21 1
                                    

Rasanya seperti menonton sebuah film dengan twist yang mengejutkan.

Awalnya kalian diperkenalkan dengan tokoh 'protagonis'. Kalian mengikuti jalan ceritanya, meyakini bahwa dia adalah orang baik dan apa yang dilakukannya semata-mata demi tujuan yang mulia. Lalu, ketika masalah mulai rumit, kalian sadar bahwa selama ini tokoh yang kalian duga sebagai orang baik itu adalah penjahat sesungguhnya.

Atau setidaknya begitu. Aku belum bisa memastikannya.

Sial, aku bohong banget kalau aku mengatakan bahwa aku nggak capek dengan semua ini. Aku lelah, kepalaku penat, aku sudah mulai muak dan aku butuh istirahat. Memang, yang aku rasakan mungkin nggak sebanding dengan apa yang Donghae dan Yuri rasakan—maksudku, ya ampun, mereka tokoh utamanya. Tapi, bukan berarti aku nggak kelelahan juga, kan?

Biar aku jelaskan secara singkat apa yang terjadi setelah aku menyelamatkan Yuri. Aku pergi menyusul Donghae sesuai dengan petunjuk dari Dara kemudian menemukan sahabatku itu tergeletak pingsan di lantai garasi apak yang dingin dengan pintu yang hancur. Panik, aku berusaha membangunkan Donghae yang kelihatan super kacau semampuku. Untungnya dia cepat bangun, dan sekalipun aku sudah mengatakannya untuk nggak terburu-buru, Donghae tetap setengah berlari keluar menuju halaman, tempat ambulans dan mobil polisi yang sudah aku panggil sebelumnya parkir.

Ya, setelah apa yang aku temukan di ruang bawah tanah rumah gila ini, aku memutuskan untuk memanggil beberapa anak buahku untuk melakukan investigasi dan menyatakan tempat ini sebagai tempat kejadian perkara.

Kenapa?

Well, karena ternyata, Kim Taehyung, si pemilik rumah ini yang sekarang tengah dalam pelarian, menyimpan banyak sekali hal-hal yang nggak selazimnya ada dirumah seseorang.

"Ini sih gila, sir." kata Jaehyun, salah satu anak buahku yang saat ini tengah menunjukkan beberapa foto hasil tangkapannya di dalam rumah Taehyung kepadaku.

Aku menghela napasku, membuka lembaran demi lembaran foto polaroid itu dengan sedikit enggan sambil sesekali menyerngitkan dahiku ketika foto yang kulihat sangat menggangguku.

Maksudku, ya tuhan.... Potongan kaki didalam kotak, tangan-tangan manusia yang disimpan dalam toples seperti ikan hias, dan potongan kepala didalam kulkas? Orang gila macam apa yang tega melakukannya?

"Aku sama sekali tidak menyangka bahwa si milyuner muda itu menyimpan semua ini dirumahnya." lanjut Jaehyun, ketika aku mengembalikan foto-foto hasil tangkapannya. Aku tahu masih ada banyak foto yang akan diambilnya, mengingat dia belum menjelajahi seluruh sudut rumah ini dan aku yakin sekali masih ada banyak yang tersembunyi didalamnya.

"Darimana dia mendapatkan semua ini?"

"Dia melakukannya sendirian, aku cukup yakin." ujarku, membuat Jaehyun membelalakkan matanya.

"M-maksudmu.... Dia membunuh kemudian—"

"Yup." aku memotong perkataannya, membuat Jaehyun kali ini menganga lebar.

"Daripada kamu bengong disitu, lebih baik kamu kumpulkan foto-foto ini sebagai laporan ke pusat, oke?"

Jaehyun menganggukkan kepalanya kemudian memberiku tanda hormat dengan tangan kanannya.

"Aye, captain!"

"Oh, dan satu lagi," lanjutku, membuat bocah itu menghentikan langkahnya yang semula sudah siap menuju mobilnya. "Aku mau kamu menggali berkas kasus hilangnya lima belas cewek yang beberapa tahun ini cukup meresahkan Seoul. Sial, cari semua berkas kasus kehilangan orang yang ada selama tiga tahun kebelakang, kalau perlu. Kalian bakal butuh semua data yang ada."

Jaehyun mengerutkan keningnya, menatapku, lalu mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut.

Ketika Jaehyun menghilang dari pandanganku, aku menghela napasku panjang. Hari ini sudah cukup memusingkan bagiku, dan sekalipun aku pengen banget tidur, aku tahu aku nggak akan bisa. Nggak ketika anak buahku yang berjumlah lima belas orang tengah sibuk mengadakan investigasi di rumah ini, nggak ketika Kim Taehyung masih berkeliaran diluar sana tanpa tahu kemana rimbanya, nggak ketika semua masalah ini belum selesai.

Ya tuhan. Sekali ini saja, aku mohon, beri aku kekuatan.

Karena punggungku mulai terasa sakit, aku memutuskan untuk bersandar pada salah satu mobil polisi dengan lampu sirine yang masih menyala, nggak begitu jauh dari ambulans. Hatiku ingin sekali melangkah menemui Yuri dan Donghae disana, memastikan bahwa calon pacarku itu baik-baik saja, tapi otakku mengatakan kalau aku harus mengurus sesuatu yang jauh lebih mendesak sekarang.

Jadi aku mengeluarkan ponselku, membuka kontak, kemudian mulai mengetik pesan untuk Dara.

'Kamu dimana? Sudah sampai rumah sakit lagi?'

Send.

Entah kenapa, aku cukup gelisah mengingat Dara saat ini tengah membawa ayahnya Donghae—atau calon mertuanya, dia lebih suka memanggilnya begitu—pergi dari sini, mengingat saat ini ada selusin polisi dan amat sangat tidak memungkinkan membiarkan Lee Jisook yang notabene masih berstatus sebagai buronan berada diantara mereka. Well, sekalipun mereka anak buahku, mereka tetap polisi. Membiarkan hal itu terjadi sama seperti mengorbankan dirimu sendiri ditengah-tengah sekelompok hyena kelaparan.

Seharusnya, aku nggak perlu segelisah ini. Toh Dara bisa menjaga dirinya sendiri, dan jarak rumah hantu ini ke rumah sakit tempat kami berkumpul beberapa jam yang lalu juga nggak terlalu jauh.

Tapi, mengingat saat ini sahabatku itu tengah berdua bersama calon mertuanya.... Entahlah, aku rasa ada sesuatu yang nggak beres. Apalagi setelah aku mendengar kesaksian dari Kim Jongwoon sebelumnya.

Sebuah kesaksian yang masih aku ragukan kebenarannya, tapi disisi lain, cukup membuatku jadi lebih waspada.

"Sir?" ujar sebuah suara, membuatku tersadar dari lamunanku. Aku menatap kearah kiriku kemudian mendapati Minhee—salah satu anak buahku, berdiri nggak begitu jauh dariku dengan sebuah zip-loc bening berisi pisau yang kelihatan sudah karatan didalamnya.

"Ya?" tanyaku, sambil memasukkan ponsel kedalam saku celanaku setelah memastikan belum ada balasan dari Dara.

"Kami menemukan ini di ruang kerja milik Kim Taehyung." jawab cewek itu. "Mungkin anda akan tertarik untuk melihatnya."

Aku mengambil pisau itu dari tangan Minhee dengan hati-hati, mengamati ukiran di gagangnya yang elegan serta mata pisaunya yang terlihat masih tajam namun berkarat.

Oh, sial. Setelah aku perhatikan lebih lanjut, noda karatan di pisau ini bukan noda karatan biasa.

Ini jelas-jelas noda karat yang dihasilkan oleh darah.

"Sudah kamu ambil sampel untuk diperiksa di lab?"

Minhee menganggukkan kepalanya cepat-cepat. "Ya, sir. Saya juga sudah memeriksa barangkali ada sidik jari yang tertinggal disana, untuk pemeriksaan lebih lanjut."

"Dan? Berapa banyak sidik jari yang kamu temukan?"

Minhee terlihat cukup terkejut dengan pertanyaanku, tapi aku nggak punya banyak waktu untuk memikirkan kenapa pertanyaan itu dapat meluncur begitu saja dari mulutku. Entahlah, mungkin instingku yang melakukannya.

"Dua, sir. Sidik jarinya milik dua orang."

Bingo.

The FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang