10 ) Dara

173 20 7
                                    


Park Jimin sudah seperti adikku sendiri.

Beberapa tahun bekerja sama dengannya, berbagi tugas bersamanya, melakukan banyak hal bersamanya membuatku merasa seperti memiliki seorang adik laki-laki.

Ya, di balik tampangnya yang memang kelihatan culun dan sifatnya yang kekanak-kanakan, Jimin adalah orang yang hebat. Dia punya kemampuan beladiri yang bagus, refleks yang lumayan untuk seorang pemula—dan yang paling penting, terkadang semua analisa yang dia berikan tepat.

Sepanjang karirku sebagai detektif kepolisian, aku sudah sering dipasangkan oleh beberapa orang—tapi, tidak ada satupun dari mereka yang berhasil meninggalkan kesan mendalam di hatiku.

Kecuali Jimin.

Park Jimin adalah cowok yang benar-benar polos. Kadang aku sendiri heran kenapa bisa orang sepolos dia diterima di kepolisian dan diberikan tugas lapangan sebagai detektif. Dia juga orang yang jujur. Dia sangat bertanggung jawab terhadap semua tugas yang diberikan kepadanya, dan meskipun dia tengah menemui kesulitan, dia tidak pernah menyerah begitu saja.

Aku sangat menyayangi Jimin seperti adikku sendiri—dan melihatnya tengah terbaring sekarat begini membuat hatiku serasa dihujani ribuan paku saking ngilunya.

Begitu aku, Hyukjae dan pamannya Donghae mendengar suara tembakan, kami langsung berlari menuju lantai teratas yang merupakan sumber suara. Aku tidak menghiraukan betisku yang rasanya perih bukan main gara-gara kebanyakan berlari, dan tepat saat aku mencapai lantai atas, aku melihat pemandangan paling mengerikan seumur hidupku.

Disana, tidak jauh dari tangga tempatku berdiri, aku melihat Jimin yang terbaring dengan wajah pucat dan darah yang mulai menggenang disekitarnya. Beberapa meter dari situ aku melihat seorang anak perempuan—barangkali usianya sekitar dua atau tiga tahun—yang tengah menangis meraung-raung.

Donghae juga ada disana, posisinya berada tidak jauh dari Jimin dan anak kecil itu—dan aku berani bersumpah, aku nyaris tidak mengenalinya karena saat ini dia tengah memukuli seseorang yang aku yakini adalah Sehun dengan membabi buta.

Donghae terlihat benar-benar menyeramkan, dan selama beberapa detik aku ketakutan melihatnya.

Dengan kecepatan kilat Hyukjae berlari untuk menghentikan Donghae sementara pamannya Donghae berlari untuk meraih anak kecil yang malang itu. Aku—tentunya, berlari menghampiri Jimin kemudian berlutut di sampingnya. Mataku mencari-cari sumber luka di tubuh Jimin yang membuat darahnya sampai menggenang begini—dan saat aku menemukannya, aku langsung melepas kemeja yang tengah aku gunakan saat ini untuk menghambat pendarahannya.

"Noona...?" tanyanya dengan suara parau, dan sekalipun seluruh badanku rasanya lemas luar biasa aku tetap berusaha untuk tersenyum saat aku menatap wajahnya.

"Tahan sebentar lagi ya Chim." kataku, berusaha keras agar suaraku tidak terdengar bergetar.

"Noona..." katanya lagi, matanya mulai berkaca-kaca dan aku berani bersumpah aku melihat bibirnya bergetar. "Sakit..."

"Iya, aku tahu." balasku cepat sambil memalsukan senyumku. "Tapi kamu harus tahan."

Jimin hanya mengulum bibirnya kemudian tersenyum meringis sementara air mata mulai membasahi pipinya, membuatku menahan diriku sendiri untuk tidak mulai menangis juga.

"Hyunjae... mana?" tanya Jimin, suaranya kelewat pelan dan serak sampai-sampai nyaris tidak terdengar.

"Dia aman, dia ada di luar sama ayahnya Donghae." jawabku cepat, setelah itu aku mengangkat kemeja yang aku gunakan untuk menghambat pendarahan Jimin hanya untuk melihat seberapa parah lukanya.

The FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang