35 | Dara

69 11 3
                                    

Aku harap semua akan baik-baik saja kedepannya.

Entahlah, menyadari fakta bahwa Kim Taehyung masih dalam kondisi koma dan bisa bangun kapan saja membuatku tidak tenang. Sekalipun dokter yang menanganinya secara khusus mengatakan bahwa kecil kemungkinan Taehyung akan pulih total, aku masih tidak yakin. Rasanya bocah itu dapat bangun kapan saja dan menghancurkan kehidupan kami lagi.

Terutama kehidupan Donghae dan Yuri.

Tapi, bukan berarti aku harus terus-terusan khawatir saat ini. Bagaimanapun juga, semuanya jauh lebih baik daripada sebelumnya. Misteri kematian ibunya Donghae dan Yuri terungkap, lengkap dengan masa lalu yang dimiliki oleh ayah mereka dan hubungannya dengan Kim Jongwoon. Kebejatan Taehyung selama ini juga berhasil kami bongkar, mengungkapkan misteri dibalik hilangnya belasan gadis di Seoul secara misterius beberapa tahun belakangan ini.

Setelah semua peristiwa yang kami lalui, hubungan Donghae dan Yuri dengan ayahnya pun membaik. Aku tahu banget bagaimana Donghae sempat membenci ayahnya setengah mati, apalagi setelah kenyataan tentang kematian ibu mereka terungka. Tapi setelah peristiwa di rooftop itu, Donghae berhasil melembutkan hatinya untuk ayahnya.

Memang, awalnya tidak mudah untuk memaafkan seseorang yang sudah kita benci hampir separuh hidup kita, tapi pada akhirnya rasa cinta dapat mengalahkan semuanya.

Aku tahu banget bagaimana Donghae bergulat dengan batinnya sendiri selama dua minggu terakhir ini. Donghae suka berjalan-jalan sendiri mengelilingi taman kecil di rumah sakit tempat Yuri dan ayahnya dirawat, malam-malam, dan bakal kembali dengan mata yang agak sembap. Sekalipun Donghae selalu berusaha untuk terlihat tegar dihadapan Yuri dan bahkan Hyukjae, dia tidak bisa menyembunyikan kerisauannya dariku.

Pada saat-saat seperti itulah, aku selalu berusaha untuk menenangkannya. Aku selalu meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan bahwa semua terror itu sudah berakhir. Ribuan kali aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan selalu ada untuknya, dan demi Tuhan, aku tidak akan pernah bosan untuk mengatakannya.

Donghae sering menyalahkan dirinya sendiri, dan aku tidak mau dia melakukan itu lagi apapun alasannya. Apalagi setelah kepergian Jimin—terutama setelah pemakamannya yang berlangsung dengan mengharukan lima hari yang lalu, pacarku itu menghabiskan waktu semalam suntuk merenung di taman rumah sakit.

Sebagai seseorang yang sudah bekerja bersama Jimin dalam waktu yang lama dan menganggapnya seperti adikku sendiri, aku juga ikut merasakan kesedihan Donghae. Jimin masih terlalu muda, masa depannya seharusnya cerah, masih banyak hal yang bisa dia lakukan.

Tapi rupanya kematian tidak pandang bulu. Dia bisa mengambil nyawa siapa saja sesukanya, kapanpun diam mau, secara tiba-tiba.

Kematian Jimin memang tidak adil untuk semua orang, tapi setidaknya, pelakunya sudah mendapat hukuman yang setimpal. Oh Sehun selaku orang yang menarik pelatuk itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, sementara Kim Taehyung pun akan mendapat hukuman yang sama seandainya dia bangun lagi dari koma.

Sekalipun harga yang harus kami bayar amat mahal, pada akhirnya kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan.

Sekarang, tugasku adalah memastikan bahwa Donghae mampu berdamai dengan dirinya sendiri, dan memastikan bahwa aku akan terus ada disana untuk membantunya bangkit kembali.

"Habis ini kamu mau ngapain?" tanya Donghae, ketika kami dalam perjalanan pulang dari pemakaman Kim Jongwoon.

Aku menatap pepohonan yang seolah-olah berlari melewati mobil kami, memperhatikan cuaca pagi ini yang cerah yang menyenangkan.

"Kayaknya balik kerja lagi." jawabku, kemudian melirik Donghae yang tengah menyetir. "Tapi aku bisa ngajuin cuti sebulan kok, kalau kamu mau."

Donghae tertawa, kemudian tangan kanannya meraih tanganku.

"Nggak usah, aku nggak apa-apa kok. Karir kamu kan, juga penting."

"Terus kamu mau ngapain habis ini?" tanyaku, dan awalnya aku takut aku salah bicara, tapi ternyata Donghae menjawab pertanyaanku dengan cukup cepat.

"Aku kepikiran buat terus jadi detektif swasta aja." ujarnya, dan sebenarnya, aku sendiri tidak kaget mendengar jawaban Donghae. Aku tahu dia mencintai pekerjaan itu.

"Menurut kamu gimana?"

Aku menghela napasku kemudian menatapnya.

"Kalau kamu benar-benar suka dan mau, lakukan aja. Ikutin kata hati kamu."

Tanpa kuduga, Donghae menepikan mobil Chevrolet Impala 1965 milik ayahnya yang sedang kami pakai saat ini di sisi jalan. Ia mematikan mesin mobil, kemudian matanya yang selalu berhasil membuatku terpana itu menatapku.

"Kamu serius?"

Aku menganggukkan kepalaku mantap.

"Iya lah, aku tahu kamu senang membantu orang-orang lewat pekerjaan itu, kan?"

Donghae tersenyum, dan untuk pertama kalinya sejak peristiwa di rooftop, senyumannya begitu lepas saat ini.

"Yuri sudah bilang oke, paman juga bilang begitu. Aku kira kamu yang bakal melarangku."

"Nggak mungkin, lah! Selama itu kegiatan yang bagus untukmu dan bermanfaat untuk orang lain, aku akan mendukungmu sampai kapanpun. Bukannya aku sudah sering bilang ya?"

Tindakan selanjutnya yang dilakukan Donghae membuatku sedikit terkejut, tapi toh, aku tetap menerimanya ketika Donghae mencondongkan badannya kedepan untuk mengecup bibirku dengan begitu lembut, begitu lama dan mendamba, seolah-olah hidupnya bergantung pada kecupan ini.

Donghae memundurkan badannya, jarak badan kami hanya terpaut beberapa senti, matanya kini menatap mataku lekat-lekat.

"I love you." bisiknya lembut.

Aku tersenyum lebar kemudian menariknya untuk menciumku lagi, kali ini dengan sedikit terburu-buru.

"I know." balasku, disela-sela ciuman kami yang terasa begitu panjang dan menyenangkan.

Ya, untuk saat ini, semua masalah kami sudah berakhir.

Aku rasa semuanya akan baik-baik saja.

THE END?

The FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang