13 ) Dara

169 22 2
                                    



Rasanya seperti bermimpi.

Beberapa jam yang lalu aku masih bisa mendengar suara tawanya, melihat senyumannya, merasakan kehadirannya, dan sekarang sosok itu telah terbujur kaku dengan sehelai kain putih yang menutupunyi di kamar mayat.

Ya, tragis memang. Aku sendiri masih tidak bisa mempercayai penglihatanku. Tapi, sebanyak apapun aku menyangkalnya, Jimin memang sudah mati, dan tidak ada yang bisa aku lakukan—tidak ada yang bisa kami lakukan, untuk mengembalikannya. Sekalipun aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri detik-detik dimana Jimin meregang nyawanya, aku masih tidak bisa mempercayainya.

Ternyata menerima kematian seseorang itu sesulit ini.

Awalnya, aku berniat untuk memberitahu Hyunjae yang masih menunggu di mobil bersama ayahnya Donghae secara perlahan. Jelas, aku tidak mau pacarnya Jimin itu kaget dan histeris—sebab itu bisa membuatku ikut-ikutan histeris juga—tapi diluar dugaan, Hyunjae berlari menerobos masuk ke TKP saat tim medis mulai memindahkan tubuh Jimin ke kantung mayat.

Tepat saat itu juga, Hyunjae jatuh terduduk di tempatnya berdiri sebelumnya kemudian menangis sekencang-kencangnya—membuatku buru-buru menghampirinya kemudian memeluknya, berusaha untuk menenangkan gadis manis itu karena dia benar-benar terguncang. Kami tidak berlama-lama di TKP karena tim medis mulai membawa Jimin, Sehun yang babak belur dan kurasa sekarat, serta gadis kecil yang manis yang menjadi sandera dalam kejadian ini ke ambulans menuju rumah sakit.

Aku, Hyunjae, Donghae, dan pamannya Donghae bergegas mengikuti mereka menggunakan mobil yang aku gunakan saat menuju kemari. Ayahnya Donghae—yang dari awal sudah menunggu kami disana—menyambut kami dengan ekspresi kebingungan, apalagi saat dia mendapati mataku yang sembap, Hyunjae yang masih menangis histeris, dan Donghae yang bahkan ekspresi wajahnya tidak bisa aku gambarkan sama sekali.

Kami berangkat dengan pamannya Donghae mengambil alih kemudi, mengikuti ambulans yang membawa Jimin dengan kecepatan tinggi sementara ayahnya Donghae meminta penjelasan mendetail tentang apa yang baru saja terjadi. Berhubung aku kesulitan berbicara gara-gara hidungku yang terhalangi ingus karena kebanyakan menangis dan Donghae yang memang tidak mengatakan sepatah katapun sejak kami meninggalkan Namsan Tower, akhirnya, pamannya Donghae yang bertugas untuk menceritakan semuanya.

Hyukjae memilih untuk tinggal dulu di TKP—berhubung dia komisaris kepolisian, banyak tugas yang harus dilakukannya di TKP semacam itu. Sekalipun Hyukjae tidak menunjukkan banyak emosi, aku tahu, sebenarnya dia juga merasa sedih saat ini. Tapi, karena dia komisaris kepolisian dan harus menunjukkan sikap tegas, dia bisa menutupinya dengan baik.

Jadi begitulah, saat ini tidak banyak yang bisa aku lakukan selain terduduk diam di depan kamar mayat sambil menatap kosong kearah pintunya, berharap sebuah keajaiban akan terjadi. Hyunjae masih terisak di sampingku, tangannya menggenggam erat tanganku yang masih agak lengket bekas darahnya Jimin. Paman dan ayahnya Donghae memilih untuk duduk tidak jauh dari kami, mereka berdua terlihat tengah mengobrol serius dan kayaknya aku harus segera tahu apa yang tengah mereka bicarakan.

Beda halnya dengan Donghae yang memilih untuk duduk agak jauh dariku. Dia duduk diam seperti patung dengan wajah yang benar-benar kosong, tampangnya benar-benar kacau dan saat ini aku benar-benar tidak mengenalinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya, tapi Donghae benar-benar berubah seperti orang lain. Dia sama sekali tidak berbicara, tidak mengatakan sepatah katapun—bahkan, sekedar batuk saja tidak.

Jujur saja, melihat Donghae seperti ini membuatku takut.

Maksudku, Donghae yang biasanya kukenal sehari-hari adalah sosok yang periang, cenderung agak tengik, humoris, dan terkadang dia juga bisa tegas di saat-saat tertentu. Donghae yang sekarang ada di depan mataku jauh berbeda dari semua hal yang aku sebutkan barusan.

Sumpah, aku pengen banget menghampirinya—memeluknya, menciumnya, atau apa saja yang sekiranya bisa membuat perasaannya membaik. Tapi rasanya itu mustahil, mengingat sampai saat ini saja Hyunjae masih menggenggam tanganku dengan begitu eratnya dan aku tidak mungkin pergi meninggalkan cewek yang lagi terguncang ini begitu saja.

"Eonni." bisik Hyunjae—atau setidaknya itu yang terdengar di telingaku, dengan suaranya yang parau karena kebanyakan menangis.

"Iya?" tanyaku, berusaha keras agar suaraku tidak terdengar bergetar.

Hyunjae menghela napasnya yang kelihatan agak berat itu kemudian menjawab, "Aku mau keluar."

Aku mengerutkan keningku, hendak mengajukan pertanyaan lain, tapi sedetik kemudian aku langsung mengerti apa maksud Hyunjae.

"Kalau gitu biar aku temenin, ya?"tawarku, sementara Hyunjae hanya membalasnya dengan sebuah anggukan pelan.

"Nggak, biar aku aja." sahut sebuah suara, lalu tahu-tahu saja Hyukjae datang menghampiri kami berdua. Dia kembali dari TKP lebih cepat dari perkiraanku.

"Aku temenin Hyunjae diluar, kamu samperin Donghae." lanjutnya, dan aku tahu banget Hyukjae tengah berpura-pura untuk terdengar tegas saat ini.

"Hyunjae, nggak apa-apa kan ditemenin sama Hyukjae dulu?" tanyaku kepada Hyunjae, dan lagi-lagi cewek itu hanya membalasnya dengan sebuah anggukan pelan.

Tepat setelah Hyukjae dan Hyunjae menghilang dari pandanganku—dan setelah mengumpulkan keberanian, aku melangkahkan kakiku mendekati Donghae yang masih tetap pada posisinya. Dia tampak tidak terusik dengan kehadiranku, jadi aku memutuskan untuk berlutut di hadapannya, meraih tangannya yang masih berlumuran darah yang sudah mulai mengering itu, kemudian mulai membersihkannya dengan tisu basah yang diberikan Hyukjae kepadaku sebelumnya.

Donghae benar-benar tidak mengatakan apapun, tapi kali ini, dia menghela napasnya panjang.

Dia sama sekali tidak menolak saat aku mulai membersihkan tangannya, jadi aku meneruskan pekerjaanku sampai selesai kemudian mulai membersihkan wajahnya dari beberapa cipratan darah dengan tisu basah yang baru.

Tanpa diduga, saat aku hendak mengusap keningnya, Donghae meraih tanganku, membuatku agak terbelalak selama beberapa detik kemudian aku baru tersadar bahwa tangannya Donghae benar-benar dingin.

Aku menghentikan pekerjaanku kemudian memberanikan diri untuk menatap matanya. Demi tuhan, aku belum pernah melihat sorot mata seperti ini sepanjang hidupku. Sorot mata yang menunjukkan rasa penyesalan yang luar biasa, bercampur dengan rasa sedih yang mendalam, rasa marah—ya tuhan, begitu banyak yang ditunjukkan oleh sorot mata Donghae saat ini.

"Kenapa?" tanyaku lembut.

Donghae mengalihkan pandangannya dari hadapanku kemudian menjawab dengan suara yang amat sangat parau.

"Maaf."

Aku mengerutkan keningku.

"Maaf kenapa?"

"Maaf aku mengacaukan semuanya." jawab Donghae cepat.

Aku menghela napasku kemudian menarik dagunya pelan, membuat Donghae kembali menatapku. "Lihat aku. Harus berapa kali aku bilang sama kamu? Semua ini bukan salahmu. Bukan kamu yang mengacaukan semua ini. Bukan kamu yang menyebabkan semua ini. Kamu sama sekali nggak bersalah."

"Nggak usah membelaku seperti itu, Dara." timpal Donghae, kali ini suaranya mulai terdengar bergetar.

"Aku nggak membela kamu, memang kenyataannya begitu, kan?"

Donghae menghela napasnya yang terdengar sangat berat kemudian menundukkan kepalanya. Saat bahunya mulai berguncang, aku langsung meraihnya kedalam pelukanku, membuat Donghae mulai menangis di bahuku sementara aku berusaha untuk tidak ikut menangis juga.

Tidak ada yang bisa aku dengar selain suara detak jarum jam tanganku, napas Donghae yang memburu di pundakku, dan suara tangisannya yang menggema ke seluruh penjuru lorong yang sepi ini.


The FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang