11 ) Hyukjae

173 20 0
                                    


Aku belum pernah merasa sedih seperti ini.

Ya, mungkin aku memang lahir dari keluarga yang tidak terlalu beruntung, ayahku sudah pergi untuk selama-lamanya jauh sebelum aku lahir, ibuku bahkan mulai melupakanku, dan aku sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil—tapi jujur saja, semua hal diatas nggak pernah membuatku merasa sedih seperti ini.

Saat ini, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis.

Damn it—aku ini Lee Hyukjae, komisaris kepolisian yang keren dan kalem. Orang sepertiku seharusnya nggak pernah menangis di depan orang lain, kan?

Baiklah, biar aku ceritakan kejadiannya secara singkat dari sudut pandangku. Setelah aku mendengar suara tembakan, aku, dengan kecepatan ekstra berlari ke lantai teratas kemudian mendapati Donghae yang tengah memukuli seseorang—yang aku yakin seratus persen adalah si Oh Sehun itu—seperti orang kesetanan. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menghampiri sobatku itu untuk menghentikannya. Aku kenal banget Donghae, dia itu sahabatku sejak kami masih culun dan melihatnya seperti ini membuat hatiku serasa teriris.

Yang aku lihat ini jelas bukan Donghae yang asli. Donghae yang aku kenal nggak mungkin bersikap kasar seperti ini.

Entah sudah berapa banyak pukulan yang diberikan Donghae kepada Sehun sampai-sampai wajahnya jadi bonyok seperti ini. Aku nggak bercanda saat aku mengatakan bahwa wajah Sehun rusak parah—hidungnya bengkok, kedua matanya bengkak, bibirnya sobek dan pipinya dipenuhi luka lebam. Aku juga nggak tahu sekuat apa Donghae memukulinya sampai-sampai tangan Donghae sendiri jadi ikut-ikutan berdarah.

Sebelum Sehun mati gara-gara dipukuli Donghae, aku menarik tangan sahabatku itu kebelakang dengan sekuat tenaga, membuat Donghae jadi agak terjengkang begitu aku menarik badannya yang semula tengah menduduki Sehun sambil terus memukuli cowok itu. Awalnya, Donghae memang sempat memberontak—dan aku sampai harus memukul kepalanya sekali untuk menyadarkannya atas perbuatannya.

Nggak ada yang aku katakan saat akhirnya Donghae 'tersadar'. Dengan napas terengah-engah dia menatapku dengan tatapan yang aku sendiri sulit mengartikannya, matanya kemudian menatap Sehun yang terbaring dengan muka bonyok—aku yakin dia sudah pingsan dan nyaris sekarat—, lalu, saat kami berdua mendengar suara Jimin yang terdengar sangat lemah dan suara Dara yang terdengar seperti ingin menangis, Donghae langsung berjalan dengan gontai menghampiri mereka berdua sementara aku terpaku di tempatku berdiri.

Selanjutnya, semuanya terjadi seperti sebuah adegan film bagiku.

Aku berdiri kaku melihat Jimin yang tengah terbaring sekarat dengan Dara dan Donghae di sampingnya. Aku mungkin orang yang lebay, tapi aku serius saat aku mengatakan bahwa hatiku serasa dicabik-cabik saat aku melihat Jimin—bawahanku sekaligus anak yang aku kenal sangat periang itu tengah meregang nyawanya.

Aku mungkin memang nggak terlalu mengenal Jimin secara personal seperti Dara atau bahkan Donghae, tapi aku sudah menyukai sifat anak itu, dan melihatnya seperti ini sekarang membuatku sangat sakit.

Air mataku mulai menggenang saat aku mendengar suara Jimin yang parau. Aku bahkan sampai lupa bahwa di ruangan ini juga ada pamannya Donghae dengan seorang anak kecil yang manis yang dijadikan sandera oleh Sehun—seluruh perhatianku hanya terpusat kepada mereka bertiga. Pada akhirnya, aku mulai menangis juga saat aku mengetahui bahwa Jimin sudah pergi.

Maksudku—ya tuhan, rasanya baru kemarin aku mengobrol dengannya, bekerja sama dengannya—seingatku kami juga sempat bertukar saus sambal saat kami tengah makan burger sewaktu kami dalam perjalanan menuju Seoul kemarin. Sekarang dia telah pergi.

Jimin sudah pergi dan nggak akan mungkin kembali lagi.

Ya tuhan, secepat itukah kau mengambilnya?

Dara langsung menangis histeris saat itu juga, membuat Donghae langsung meraih pacarnya itu kemudian memeluknya erat-erat. Aku juga belum pernah melihat Donghae menangis—dan melihat sahabatku seperti itu malah membuat tangisanku semakin menjadi-jadi. Air mataku mengalir keluar tanpa bisa aku hentikan sementara ingus mulai menyumbat hidungku, membuat dadaku jadi terasa sesak.

Aku mulai mengambil langkah pelan menghampiri tubuh Jimin yang sudah nggak bergerak sama sekali saat tangisan Dara semakin menjadi-jadi. Tepat saat aku hendak berlutut di samping tubuh Jimin, sekelompok polisi dengan seragam anti-teror serba hitam dan beberapa petugas medis tiba—seharusnya sih, mereka datang dua menit yang lalu tapi aku sama sekali nggak memusingkan hal itu sekarang.

"Komisaris Hyukjae?" tanya salah satu polisi berseragam hitam itu—dan berhubung aku masih ingin menjaga imej kalemku di depan bawahanku, aku langsung berdiri tegak saat polisi itu menghampiriku.

"Kamu bawa berapa personil kesini?" tanyaku tegas—tentunya, setelah aku menghapus air mataku secepat kilat.

Di balik helm-nya yang agak kebesaran itu, polisi itu menjawab; "Lima puluh personil pas, sir. Dua puluh lima berjaga di luar, sisanya, termasuk saya, berada disini."

Aku menghela napasku panjang kemudian membalas, "Ya udah, kalau gitu tugas kamu sekarang borgol cowok yang bonyok di ujung sana itu dan kawal dia sampai ke rumah sakit, sekalipun dia brengsek dia butuh penanganan medis."

Tanpa banyak basa-basi, polisi itu—namanya Hoshi, kalau aku nggak salah lihat di name tag-nya barusan—bergegas melakukan perintahku. Aku bahkan baru ngeh kalau petugas medis yang datang sudah ada di dekatku dari tadi, sebagian dari mereka mulai mengurusi jasad Jimin sementara sebagian lagi mulai memeriksa keadaan anak kecil yang malang itu.

Berhubung tangisan Dara semakin terdengar memilukan di telingaku, aku memutuskan untuk langsung turun kebawah sementara air mataku mulai menetes lagi. Bukannya aku nggak ingin ikut-ikutan bersedih—demi tuhan, kalau bisa sih sekarang juga aku ingin menangis meraung-raung. Tapi, sudah tugasku sebagai komisaris polisi untuk berkeliling dan memeriksa keamanan keadaan sekitar. Aku nggak mungkin diam di satu tempat karena kemungkinan ancaman bisa terjadi kapan saja.

Lagipula, aku nggak jamin aku bakal tahan berlama-lama di dekat Dara dan Donghae tanpa ikut menangis juga.


The FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang