Batrai ponsel cukup terisi? Cek.
Senter? Cek.
Borgol? Cek.
Aku memeriksa lagi barang-barang bawaanku untuk yang kesekian kalinya, memastikan bahwa tidak ada yang kurang. Hell, aku bahkan sampai meminjam pistol dari salah satu personil polisi yang bertugas menjaga Yuri. Memang sih, aku sudah beberapa kali memegang senjata api seperti ini sebagai alat pertahananku, tapi tetap saja, rasanya gugup sekali untuk memegangnya lagi.
Donghae juga melakukan hal yang sama. Aku memperhatikannya memeriksa barang bawaannya beberapa kali, terlihat cukup nervous dengan keringat dingin yang mulai bercucuran di keningnya. Sama sepertiku, dia juga meminjam pistol dari salah satu personil polisi untuk alat pertahanan. Awalnya dia memang menolaknya—aku rasa dia tidak terlalu menyukai benda itu, tapi setelah aku dan Yuri memaksanya, akhirnya dia nurut juga.
"Berhubung kita nggak punya alat ear communication, otomatis segala bentuk komunikasi harus kita lakukan lewat ponsel." ujar paman.
"Diantara kalian berdua, siapa yang batrai ponselnya masih cukup terisi?"
Tanpa perlu pikir panjang, aku mengacungkan tanganku untuk menjawab pertanyaan paman.
"Kalau begitu, Dara, sambungkan terus ponselmu dengan ponselku." katanya, dan aku menganggukkan kepalaku tanda mengerti.
"Yuri, begitu lampunya sudah menyala, lakukan apa yang harus kamu lakukan. Aku bakal telepon kamu nanti." kali ini Donghae yang berbicara.
Sekalipun Yuri terduduk di kasur dengan kondisi yang belum pulih betul, dia terlihat bersemangat. Dan kalian harus tahu, aku senang melihatnya seperti itu.
"Kamu sama Dara jangan sampai terpencar. Itu perintah." Yuri membalasnya, membuat Donghae terkekeh pelan mendengarnya.
Sembari mengacak-acak rambut Yuri, Donghae menjawab;
"Siap, nona."
Donghae, aku, Hyunjae, paman dan Yuri berkumpul membentuk sebuah lingkaran. Kami menggenggam tangan satu sama lain, kemudian, dengan wibawa yang luar biasa keren, Donghae memimpin doa untuk kelancaran rencana kami malam ini. Aku memejamkan mataku ketika kami berdoa, memohon dengan sangat agar kami diberi kemudahan untuk menangkap Kim Taehyung malam ini juga.
Sudah terlalu banyak korban berjatuhan gara-gara dia.
Sejujurnya, ada sedikit rasa penyesalan terselip dihatiku. Aku dan Jimin sudah mengintainya sejak lama, dan kami juga sudah menyimpan rasa curiga yang besar terhadap bocah itu selama bertahun-tahun. Tapi, tidak ada yang kami lakukan selain memperingatkan atasan kami dan bersikap penuh waspada terhadapnya.
Aku bisa saja membuat surat penahan resmi pada dirinya, tapi saat itu, aku belum punya cukup bukti. Aku hanya memiliki insting dan spekulasi kala itu. Menahan seseorang tanpa cukup bukti, apalagi seseorang dengan pengaruh yang cukup besar seperti Taehyung akan menimbulkan kontroversi, dan salah-salah karirku akan mati saat itu juga.
Selama ini aku hanya menunggu dan terus menunggu waktu yang tepat untuk menangkapnya. Kalian bisa lihat apa saja yang sudah terjadi selama aku menunggu, kan?
Jadi, wajar saja jika saat ini perasaanku campur aduk antara marah, dendam, gugup dan takut.
Selesai berdoa, tanpa banyak basa-basi lagi, kami bergegas ke tempat tujuan kami masing-masing. Paman pergi bersama Hyunjae sementara aku pergi bersama Donghae. Yuri menunggu di kamarnya, dengan dua orang polisi yang sebelumnya menjaganya juga. Dilihat dari kesigapan sekaligus sikap canggung yang mereka tunjukkan, aku tahu banget mereka adalah anak buahnya Hyukjae, dan itu artinya, mereka bisa dipercaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Finale
FanfictionAku Kim Taehyung, dan akulah yang menyebabkan semua mimpi buruk kalian. Ya, kurasa nggak perlu basa-basi dan sembunyi lagi sekarang, pada akhirnya semua rahasia akan terbongkar. Dan karena aku orang yang baik, aku bakal dengan senang hati mengungkap...