21 ) Yuri

107 19 5
                                    

Awalnya aku kira aku bakal mati.

Setelah semua hal mengerikan yang Taehyung lakukan—khususnya padaku, aku kira aku akan berakhir seperti salah satu korbannya. Aku sudah benar-benar pasrah atas apa yang akan terjadi. Mau melawan pun aku tidak punya cukup tenaga, jadi, daripada mempersulit kematianku, aku lebih memilih untuk menerimanya dengan lapang dada, sekalipun rasanya aku tidak sudi juga mati diusia muda begini.

Tapi, harapanku untuk hidup lebih lama muncul saat tiba-tiba saja aku mendengar suara-suara gaduh dari luar ruangan, yang membuat si bocah gila itu menghentikan pekerjaannya kemudian buru-buru keluar ruangan. Sebenarnya itu kesempatan bagus bagiku untuk kabur, tapi seperti yang sudah aku jelaskan, aku sama sekali tidak punya cukup tenaga—demi tuhan, untuk berkedip saja rasanya aku lemah banget.

Hal selanjutnya yang aku ketahui adalah wajah Hyukjae yang tiba-tiba ada di hadapanku, menatapku dengan penuh cemas dan aku tidak bisa lebih bahagia daripada ini.

Aku kira aku tengah berhalusinasi atau apalah, tapi saat Hyukjae berhasil melepaskanku, menggendongku sampai keluar ruangan, kemudian membantuku untuk duduk di salah satu kursi sambil terus mengoceh menanyakan keadaanku, aku tahu, aku tidak sedang bermimpi.

Tidak lama kemudian, sekalipun penerangan disini berbeda jauh dengan penerangan di ruangan sebelumnya, aku bisa melihat Dara dan ayahku yang tengah berjalan cepat menuju kearah kami. Tepat seperti dugaanku, Dara langsung memelukku dengan kelewat erat tapi aku sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Yang aku tahu, aku senang sekali bisa bertemu mereka lagi pada akhirnya.

Ya tuhan, terima kasih banyak.

Aku baru sadar ada yang kurang saat aku tidak menemukan baik Donghae maupun Jimin diantara mereka. Aku juga tidak sempat bertanya karena aku sudah keburu digotong keluar oleh Hyukjae begitu suara sirine terdengar.

"Kamu dehidrasi parah." kata petugas medis yang sedari tadi memeriksaku. Saat ini aku tengah duduk di dalam ambulans yang masih terparkir di pekarangan rumahnya Taehyung, melakukan beberapa tes dan mengobati beberapa luka di wajahku yang seharusnya mulus ini. Gara-gara Taehyung, aku harus rela mendapatkan luka jahitan di jidatku dan katanya luka ini bakal susah hilangnya.

Sialan, padahal aku mati-matian menjaga wajahku dari dulu.

"Yah, aku udah dua hari nggak minum sama makan, sih." gumamku, menanggapi si petugas medis.

"Tekanan darah kamu juga rendah banget." lanjutnya, sambil menuliskan sesuatu di bukunya. "Oke, kamu harus rawat inap selama beberapa hari."

"HAH?" tanyaku sambil memelototi si petugas medis. Asal kalian tahu saja, perlu tenaga yang cukup besar untuk melakukan hal ini.

"Aku nggak apa-apa kok dok—eh, sus." sial, untuk menentukan panggilan yang tepat saja aku kebingungan.

Si petugas medis yang kira-kira berusia sekitar tiga puluh tahunan itu menghela napasnya kemudian tersenyum simpul. Dilihat dari penampilannya dan bau parfumnya yang lumayan menyengat, aku yakin, wanita dihadapanku ini pasti belum menikah. Dari caranya memperlakukanku, sepertinya dia memiliki seorang adik—atau mungkin menginginkan seorang adik, soalnya dia ramah banget.

Hohoho, bahkan dalam keadaan kepayahan seperti inipun aku masih bisa mengobservasi dengan baik.

"Kamu diculik selama dua hari tanpa makan dan minum, disiksa oleh seorang psikopat sampai wajahmu babak belur dan kamu masih bilang kamu nggak apa-apa? Wow, kamu pasti terbuat dari baja." balasnya, membuatku menyunggingkan cengiran garingku.

"Sekalipun kamu sudah minum dan makan sedikit barusan, kamu tetap butuh perawatan khusus. Yah, setidaknya untuk memastikan nggak ada sesuatu yang salah sama badan kamu." lanjutnya.

Iya sih, sekalipun tadi begitu aku dimasukkan kedalam ambulans aku langsung dikasih makan dan minum—yang aku terima dengan kalap seperti orang yang belum makan selama setahun—aku tetap saja masih merasa benar-benar capek. Tenagaku memang belum sepenuhnya pulih, tapi aku rasa nggak perlu sampai di rawat segala.

Sebelum aku sempat membalas perkataan si petugas medis, tahu-tahu saja pintu ambulans yang semula agak tertutup langsung terbuka dengan lebar, menampakkan sosok Donghae yang benar-benar kacau dengan wajah yang luar biasa cemas.

"Yuri!" serunya, dan aku belum pernah merasa sangat bahagia saat melihatnya.

Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran bocah tengik itu saat dia meloncat masuk kedalam ambulans kemudian setengah berlari untuk memelukku, sampai-sampai si petugas medis harus rela menyingkir. Yah, sekalipun aku rada malu juga dengan tingkahnya, aku benar-benar merindukan kakakku.

Demi tuhan, rasanya sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya.

"Thank god you're okay!" serunya lagi, kali ini sambil mengusap-usap rambutku kemudian menciumi keningku.

"Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka? Dimana yang sakit? Apa yang kamu rasain sekarang? Astaga, kening kamu—"

"Donghae," aku menyela perkataan Donghae yang sepertinya tidak akan pernah berujung itu kemudian melanjutkan, "Aku nggak apa-apa, kok."

"Serius? Tapi kening kamu dijahit gitu loh! Muka kamu juga ancur banget! Gimana bisa kamu nggak apa-apa kalau—"

"Sebenarnya kamu lagi perhatian sama aku atau pengen ngolok-ngolok aku, sih?" tanyaku, membuat si petugas medis yang berada di dekat kami tertawa kecil.

"Well, kalian silahkan mengobrol dulu disini, aku akan keluar untuk memeriksa barangkali ada yang terluka atau apalah." kata si petugas medis, membuatku jadi agak tidak enak juga karena sedari tadi dia berada diantara aku dan Donghae seperti obat nyamuk.

Setelah si petugas medis pergi meninggalkan kami berdua, Donghae menarik kursi kecil supaya bisa duduk di hadapanku kemudian menggenggam tanganku erat-erat sampai rasanya tanganku bisa remuk. Tanpa perlu mengatakan apapun, aku sudah tahu apa yang tengah Donghae rasakan dan pikirkan saat ini—dan demi tuhan, hal itu membuat dadaku terasa sesak bukan main.

"Maaf." katanya, kali ini dengan suara yang agak serak. Oh, astaga, jangan bilang dia mau nangis.

"Nggak perlu." balasku. "Bukan salah kamu."

Donghae menghela napasnya kemudian menatapku dan—ya tuhan—aku bisa melihat dengan jelas matanya yang berkaca-kaca.

"Semua orang selalu bilang begitu tapi ini semua memang salah aku, Yuri. Aku yang bikin semua kekacauan ini. Aku yang bikin kamu jadi begini. Maaf...." katanya, dan melihatnya seperti ini membuatku jadi ingin menangis juga.

Kalau lagi dalam situasi normal, aku pasti ogah banget melakukan ini. Tapi, berhubung aku benar-benar kangen berat sama kakakku dan aku sayang banget sama dia, aku memeluknya dengan erat sambil menepuk-nepuk punggungnya pelan. Aku tidak bisa membiarkan kakakku menanggung semua beban ini sendirian.

"Kalau gitu kamu harus belajar memaafkan diri kamu sendiri, Donghae." kataku, masih memeluk kakakku dengan erat. "Jangan biarkan rasa bersalah itu menggerogoti kamu."

Donghae menghela napasnya yang terdengar berat itu untuk sekali lagi kemudian menjawab, "Kayaknya nggak bakal segampang itu..."

"Kata siapa gampang? Pasti butuh waktu bertahun-tahun, lah." kataku, kemudian menarik badanku darinya untuk melihat wajahnya yang kacau. "Tapi karena kamu kakakku, aku yakin kamu bisa melakukannya."

Donghae tersenyum simpul kemudian mengacak-acak rambutku. "Trims, sis. Kamu emang yang terbaik."

Aku membalas senyumannya dengan senyuman yang paling tulus yang bisa aku berikan. Ya tuhan, rasanya sudah lama banget aku tidak tersenyum seperti ini.

"Oh iya, omong-omong, kemana Ji—" aku tidak sempat menyelesaikan kalimatku karena Hyukjae tiba-tiba saja datang. Padahal aku penasaran banget kemana perginya Jimin, biasanya dia selalu ikut kemanapun kami pergi.

"Donghae, Yuri," kata Hyukjae, dengan napas tersengal-sengal dan tatapan yang sangat serius. Melihatnya seperti itu membuat perasaanku jadi tidak enak.

"Ada yang perlu kita semua bicarakan, sekarang."

The FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang