Epilog : Donghae

85 10 2
                                    

Aku takut semuanya tidak akan baik-baik saja.

Aku tahu, seharusnya aku bersyukur bahwa setidaknya semua sudah berakhir. Misteri kematian ibuku terungkap, segala terror mengerikan yang telah menimpa aku, Yuri, Dara dan Hyukjae juga telah berlalu, dan pelaku dari semua kejadian mengerikan yang selama ini menghantui kami sedang berada dalam kondisi yang jauh dari kata sehat wal'afiat.

Aku berbohong kalau aku tidak menginginkan Kim Taehyung mati. Maksudku, setelah semua yang bajingan kecil itu lakukan kepadaku juga orang-orang yang aku sayangi, dia pantas untuk mati. Tapi anehnya, takdir malah berkata sebaliknya. Sekalipun sudah terjun bebas dari atap gedung yang tinggi, bocah sialan itu tidak mati. Ayahnya, di sisi lain, bernasib kurang baik dan langsung meninggal di tempat setelah peristiwa mengenaskan itu.

Hyukjae dan aku secara rutin mengunjungi rumah sakit khusus tempat dimana Taehyung dirawat untuk memastikan keadaannya. Dia berada dalam kondisi koma dengan separuh wajahnya yang hancur, kerusakan otak yang parah, serta dengan bantuan pernapasan melalui selang oksigen yang kalau sekiranya aku cabut pun kayaknya bakal menghabisi nyawanya. Dokter mengatakan bahwa kecil kemungkinan Taehyung akan sadar kembali, dan jika dia sadar kembali pun, dia tidak akan bisa hidup layaknya manusia normal lagi.

Meskipun begitu, aku tetap merasa agak tidak tenang.

Bagaimana jika Taehyung tiba-tiba saja tersadar kembali, dan menyusun rencana untuk membalaskan dendamnya kepada kami semua?

Bagaimana jika ketika ia tersadar kembali, ia malah menjadi semakin jahat?

Bagaimana jika ketika ia berusaha mencelakai orang-orang tersayangku lagi, aku tidak mampu untuk melawannya dan kalah?

Berbagai macam pertanyaan 'bagaimana' terus menghantui pikiranku selama dua minggu terakhir ini. Memang, Dara, Yuri, Hyukjae, bahkan paman dan ayahku yang sekarang sedang dalam proses perawatan karena tidak bisa berjalan lagi meyakinkanku habis-habisan bahwa semuanya sudah berakhir, dan semuanya akan baik-baik saja. Entah sudah berapa banyak dukungan moral yang mereka berikan padaku, sebagian besar juga turut mengatakan bahwa aku harus bangkit kembali dan memulai kembali hidupku dengan normal. Mereka semua begitu perhatian, dan aku sangat bersyukur memiliki orang-orang yang aku tahu begitu menyayangiku di sekelilingku.

Yuri bilang, aku hanya butuh distraksi. Mungkin memang itu yang aku perlukan saat ini, karena hal itu juga yang adikku lakukan. Beberapa hari belakangan ini Yuri mulai sibuk mencari-cari info pendaftaran beasiswa kuliah ke luar negeri, dia bilang dia ingin melanjutkan apa yang sebelumnya sempat ia tinggalkan yaitu melanjutkan pendidikannya—toh, kami sudah berhasil menemukan ayah kami dan semua masalah sudah selesai.

Begitu tahu bahwa Yuri berniat untuk melanjutkan kuliah, aku senang bukan main. Jadi, ketika aku tahu bahwa adikku akan mengejar impiannya lagi, aku pun memutuskan untuk melakukan apa yang selama ini aku sukai dan sepertinya sudah menjadi impianku.

Yaitu dengan bekerja untuk membantu menyelesaikan masalah orang lain sebanyak-banyaknya. Dara akan kembali bekerja di kepolisian, begitu pula dengan Hyukjae. Sobatku itu sempat menawariku masuk ke kepolisian saja tapi aku dengan halus menolaknya. Entahlah, aku hanya nggak begitu suka terikat dengan suatu instansi saja.

Hyunjae juga dengar-dengar tetap bekerja sebagai hacker canggih di kepolisian. Aku sempat khawatir memikirkan kemungkinan bahwa gadis itu bakal trauma dan berhenti bekerja—apalagi setelah peristiwa Jimin, tapi ternyata dia lebih kuat dari dugaanku. Memang, tidak ada satupun dari kami yang bisa melupakan Jimin secepat itu—terutama aku yang sampai saat ini masih merasa bahwa kematiannya menjadi tanggung jawabku. Tapi, aku tahu Jimin nggak akan senang melihat kami terpuruk terus-terusan. Dia juga pasti mau melihat kami bahagia, dan karena dia sudah mengorbankan nyawanya demi kebahagiaan kami, aku mana boleh mengecewakan si anak pramuka yang culun itu.

Ayahku, di sisi lain, memutuskan untuk menyerahkan dirinya sendiri setelah menjadi buronan selama bertahun-tahun. Memang sulit sekali untuk menyadari bahwa ayahku sudah membunuh ibuku sendiri, rasanya seperti mimpi buruk yang memuakkan. Aku masih suka berharap bahwa apa yang aku ketahui ini hanyalah fakta palsu belaka, tapi memang begitu kenyataannya.

Meskipun apa yang ayah lakukan adalah kecelakaan dan sebenarnya jika kamu mau menyalahkan seseorang maka Kim Jongwoon adalah orang yang tepat, ayahku tetap menyerahkan dirinya kepada polisi. Persidangannya akan berlangsung beberapa hari lagi, dan sepertinya ayah akan diberi keringanan hukuman karena kondisi fisiknya pun dengan kenyataan dibalik kasus kematian ibu.

Rasa kesal karena ditinggalkan begitu saja tanpa kabar dan tanpa alasan yang jelas oleh ayahku masih terasa hingga saat ini, tapi, aku juga nggak akan pernah melupakan bagaimana ia mengorbankan dirinya sendiri dengan tertusuk pisau tepat di dadanya demi melindungiku dan Yuri. Dia mungkin bukan ayah terbaik atau ayah impian, tapi tetap saja, dia ayahku. Aku tahu dia begitu menyayangi aku dan Yuri, dan sepertinya, aku juga harus belajar untuk mulai menyayanginya.

"Kalian nggak perlu datang setiap hari." kata seorang pria berjas putih panjang yang kini tengah berdiri di sampingku, dengan beberapa lembar kertas di tangannya yang sedari tadi ia baca dengan teliti, merusak narasiku yang sudah panjang lebar ini.

"Aku bisa kasih info secara berkala setiap harinya kepada kalian lewat e-mail, jadi kalian nggak perlu datang kesini setiap hari." lanjut pria itu, dan aku bisa merasakan Hyukjae yang berdiri di sisi kananku tertawa kecil.

"Kami cuman ingin mastiin aja, kok." balas Hyukjae. "Lagipula, secara nggak langsung dia jadi tanggung jawabku juga."

"Jangan khawatir." pria berjas putih itu menurunkan kertas-kertas yang semula tengah ia baca, kemudian menatap lurus melalui kaca penghalang didepan kami kepada sosok yang kini terbaring tidak sadarkan diri di ranjang, dengan beberapa selang yang rumit yang mengelilingi badannya.

"Tim kami bakal memastikan semuanya baik-baik saja." lanjutnya, dan aku tahu posisinya sebagai dokter membuatnya memiliki hak untuk mengatakan itu, tapi entah kenapa, aku nggak percaya.

"Semoga saja semuanya sesuai apa yang kita harapkan." timpalku, sembari melipat kedua tanganku tepat didepan dadaku. Mataku mengamati sosok Kim Taehyung dengan seksama, sedikit berjaga-jaga barangkali bocah itu tiba-tiba saja terlonjak bangun dari tempat tidurnya dan menggila.

Mungkin Hyukjae menyadari kegelisahanku, karena sesudah itu sobatku itu cukup baik untuk menepuk pundakku. Meskipun tidak mengatakan apapun, aku tahu Hyukjae berusaha untuk menenangkanku.

"Semoga." balas si dokter yang sepertinya usianya tidak jauh lebih tua daripada aku itu. "Oke, kalau begitu aku permisi dulu."

Setelah si dokter itu pergi, hanya ada aku dan Hyukjae, memandangi Kim Taehyung dari balik kaca dalam diam. Kelihatannya Hyukjae sudah mulai bosan berada disini, dan sepertinya berlama-lama disini pun nggak akan memberikan apapun buatku. Sejak peristiwa di rooftop itu, aku selalu mengunjungi tempat ini setiap harinya untuk memastikan kondisi Taehyung, dan nggak ada yang berubah sejak saat itu.

"Yuk, pulang." sahut Hyukjae, dan aku menatapnya sekilas sebelum kembali menatap Taehyung. "Kita balik lagi kesini bulan depan, oke? Sementara itu, aku bakal terus kabarin kamu soal perkembangan Taehyung, kok."

"Menurut kamu dia bakal semakin membaik dalam sebulan kedepan, nggak?"

Hyukjae terdiam mendengar pertanyaanku selama beberapa saat, barangkali memikirkan jawaban yang tepat.

"Kurang tahu juga." jawabnya. "Sekarang aku nggak bisa yakin sama satu kemungkinan aja, sih."

"Sama." balasku. "Yah, aku harap kita semua nggak perlu berurusan sama dia lagi untuk selamanya."

"Setuju." ujar Hyukjae. "Yuk ah, lama-lama tempat ini makin nggak enak hawanya."

Sebelum aku benar-benar meninggalkan ruangan ini dan menyusul Hyukjae yang sudah lebih dulu mendahuluiku keluar dari ruangan ini, aku memutuskan untuk melirik Taehyung sekali lagi, menatap wajahnya yang sudah separuh rusak itu dengan lamat-lamat, memastikan bahwa dia masih tidak sadarkan diri.

Anehnya, mungkin ini hanya imajinasiku saja, tapi selama beberapa saat ketika aku menatapnya, aku seolah-olah melihat ujung bibir Taehyung bergerak sedikit.

Seakan-akan dia sedang tersenyum. 

The FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang