"Gaara, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku setelah melihat kejadian dimana Davi menghampiri Airi dan Airi langsung terpesona kepadanya.
"Soal apa?" sahut Gaara sambil sibuk menandai sesuatu di bukunya.
"Apa yang Davi lakukan itu, apa tidak akan berhasil jika dia tidak memakai kalung pemberian kakaknya?" tanyaku. "Maksudku, kalau dia hanya menghampiri dan tersenyum padaku, apa aku tidak akan terpesona padanya?"
Gaara melirikku sebentar, "Kamu pikir saja sendiri," sahutnya. "Sebelum hari itu tiba, apa pendapatmu tentang Davi? Meskipun tidak saling mengenal, tapi kamu sudah cukup tahu tentang dia, kan?"
Aku terdiam, coba mengingat-ingat lagi. Gaara benar. Dulu sebelum kejadian itu sebenarnya aku sudah tahu sedikit tentang Davi. Seperti yang kubilang sebelumnya, Davi cukup populer di kalangan cewek-cewek sekelasnya. Aku sering mendengar gosip tentang Davi saat aku di tempat les dulu.
Kebetulan tempat les Bahasa Inggris yang aku ikuti diisi beberapa anak 9-B juga. Mereka sering bilang bahwa Davi cakep dan baik hati. Mereka senang jika dapat kelompok belajar yang sama dengan anak itu.
Awalnya aku tidak begitu tahu dengan anak cowok yang bernama Davi. Hingga aku bertanya pada Sally dan Sally menunjukkan padaku siapa orang itu.
Terus terang muka Davi tak asing bagiku. Itu normal karena setelah diingat lagi, kelasku dan Davi selalu bersebelahan sejak kelas 7. Dia terlihat mencolok setiap kali berjalan melewati depan kelasku bersama teman-temannya. Namun selama kelas 7 dan kelas 8 berakhir, bahkan sampai kelas 9 mencapai Semester Dua, aku tak pernah begitu tertarik dengannya.
Aku tahu Davi ganteng dan punya senyuman manis. Hanya saja aku lebih menyukai cowok seperti Saputra. Saputra yang enerjik, bersemangat, bersahabat, dan menyenangkan. Cowok seperti Saputra terlihat lebih mengagumkan.
Gaara tiba-tiba menepuk punggungku sangat keras, hingga hampir saja aku terjungkal.
"Hey!" Aku berseru kaget hendak memprotes tapi aku bagai terbangun dari tidurku. Buku harian SMP yang menjatuhi pahaku membuatku terkesiap. Aku pun segera sadar. Aku telah berada di kamarku lagi, dengan posisi yang tak jauh berbeda dari sebelum aku bertemu Gaara.
Setumpuk buku diari masa sekolah yang lain masih ada di bawah jendela. Toples biskuit coklat di atas meja dengan tutup terbuka, dan gorden jendela yang masih berkibar-kibar tertiup angin kencang entah dari mana.
Aku lalu melihat jam waker di dekat tempat tidur. Jam menunjukkan pukul 17 lebih beberapa menit. Seingatku, seusai mandi tadi jam juga menunjukkan waktu tak jauh dari itu.
Aneh. Apa tadi aku cuma bermimpi? Apa baru saja aku tertidur selama dua atau tiga menit di sini?
Ah, tidak. Tetap saja ini aneh. Bukankah kejadian tadi cukup lama? Tak peduli jikalau hal itu cuma terjadi dalam mimpi, tetap saja waktu yang kulalui tidak sebentar. Aku dan Gaara melewati berbagai kisah di SMP selama beberapa lama. Tidak masuk akal jika semua hal yang telah aku lalui tadi cuma terjadi dua atau tiga menit saja.
Sepertinya aku harus menunggu pertemuanku dengan Gaara lagi untuk mengetahui hal ini nyata atau sekedar mimpi.
***Flashback Wind***
"Bos menyuruh kita mem-backup rekaman cctv pada tanggal 1 sampai 5 bulan ini," kata Alexandra saat kami bertemu, pagi di tempat kerja.
"Memang ada sesuatu yang terjadi?" tanyaku sambil menghidupkan perangkat komputer di depanku.
"Yah, mobilnya tergores sesuatu di bagian depan sama samping kiri. Aku sih tidak yakin ini ulah sengaja seseorang, tapi Bos curiga kalau ada yang sengaja merusak cat mobilnya," terang Sandra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flashback Wind
Gizem / Gerilim[SELESAI] Awalnya Airi tak pernah merasa ada yang salah dengan hidupnya. Bahkan Airi selalu berpikir masa remajanya telah ia lewati dengan sempurna. Semua dimulai dari datangnya pria asing yang bisa membaca pikiran Airi dan selalu muncul secara tiba...