"Menurutmu kita harus ke mana lagi?" Gaara menandai sesuatu di bukunya kemudian melirik semacam arloji di pergelangan tangan kiri. "Apa kamu ingat setelah tanggal ini, kejadian apa yang kemudian kamu tulis di buku diari?"
Aku melirik ke arah lain sebentar. "Aku tidak punya ingatan sebagus itu. Bagaimana mungkin aku ingat isi buku harian yang sudah kutulis lebih dari enam tahun yang lalu?"
Gaara mangut-mangut. "Baiklah. Sepertinya aku harus melewati banyak adegan yang kurang mendukung. Lagi pula waktu kita di masa SMP cuma sebentar. Untuk ukuran buku tugas setebal ini, paling hanya akan dikategorikan sebagai intro sebuah lagu."
"Intro lagu?" Aku mengernyit.
Gaara mengangguk. "Tapi intro juga termasuk bagian penting dari sebuah lagu bukan?"
Aku cuma mengangkat bahu sebagai tanggapan. Terus terang aku tak begitu mengerti dengan maksud pembicaraannya.
"Oke, merapatlah. Kita akan maju ke dua hari mendatang setelah ini," ucap Gaara kemudian. Aku mendekat beberapa senti meter. "Tidakkah kamu ingat bagaimana cara aku membawamu ke masa demi masa?" Pria itu melirikku malas. "Pegang tanganku!"
Aku sungguh tak percaya aku benar-benar melakukan perintahnya.
"Minimal kamu harus ada kontak fisik denganku. Itu kalau kamu tidak mau ketinggalan di masa lalu sih."
"Kalau aku bisa mengubah masa lalu agar masa depan lebih baik sepertinya tidak masalah," sahutku.
"Yah, dan keluarga serta teman kamu akan bingung karena tiba-tiba Airi lenyap dari kehidupan." Gaara berkata dengan kesal. "Sudah kubilang kalau saat ini kita cuma sedang menonton film, kan? Jadi jangan memikirkan hal yang tidak berguna. Ikuti saja perintahku dan kita akan pulang dengan aman."
Sebuah silauan datang membuatku mengerjap secara spontan.
"Kita ke sini sebentar untuk melihat orang-orang penting lain." Kudengar Gaara berkata seperti itu saat kami sudah tiba di suatu tempat. Aku coba melihat berkeliling untuk melihat keadaan. Rupanya kami telah berada di kelas 9-A lagi.
Aku menyaksikan Airi sedang berbincang dengan Violin dari bangku masing-masing. Dua temanku yang lain juga ikut nimbrung sesekali. Sementara anak-anak lain di kelas tampak ramai bercanda dengan kelompok di sekitarnya.
Aku yakin situasi ini adalah jam kosong. Jika jam istirahat, kelas tidak mungkin sepenuh ini. Kebanyakan anak akan pergi ke kantin atau bermain basket di lapangan.
"Airi, punya penggaris?" Mendadak seorang anak cowok yang duduk di depan Violin memanggil anak itu.
Airi yang sedang asik mengobrol menoleh padanya. "Tentu." Ia merogoh laci meja lalu mengambil benda yang dimaksud. "Nih," Airi segera menyerahkan penggaris bergambar Teddy Bear yang ia punya kepada cowok itu.
Namanya Luki. Luki Bagaskara. "Pinjam sebentar, ya?" ucapnya.
"Oke." Airi tersenyum ringan lalu kembali melanjutkan perbincangannya dengan Violin.
Luki yang sudah membawa penggaris dari Airi melirik cewek itu sebentar lalu ikut tersenyum. Ia kemudian mulai menggunakan penggaris itu untuk menggambar denah pada kertas karton besar di hadapannya.
Jika tadi kita sudah mengenal Saputra yang cakep dan populer, Davi yang memesonakan para cewek sekelasnya, juga Terry dan anak 9-B lain yang tak kalah tenarnya, maka Luki adalah tipe cowok yang berkebalikan dari mereka semua.
Luki adalah ketua kelas 9-A. Dia anak yang kalem, pendiam, tak banyak tingkah, tukang mengalah, tidak mencolok, dan tidak populer. Luki dan Airi sudah saling mengenal sejak awal mereka masuk SMP Harapan. Mereka selalu masuk kelas yang sama dari kelas 7 hingga kelas 9. Meski begitu mereka tidak bisa dibilang akrab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flashback Wind
Gizem / Gerilim[SELESAI] Awalnya Airi tak pernah merasa ada yang salah dengan hidupnya. Bahkan Airi selalu berpikir masa remajanya telah ia lewati dengan sempurna. Semua dimulai dari datangnya pria asing yang bisa membaca pikiran Airi dan selalu muncul secara tiba...