***Flashback Wind***
"Kenapa kita malah di sini? Airi kan di sana!" Aku melirik Gaara bingung saat kami tiba di jam usai olahraga kelas 11 Bahasa-1. Gaara mengajakku duduk di tongkrongan beberapa cowok teman sekelasku dulu, bukannya mengikuti Airi yang pergi dengan teman-temannya.
"Kamu ngajak aku lihat kamu dan cewek-cewek lain ganti baju, ya?" sahut Gaara.
"Ganti baju? Mereka kan sedang di kantin," kataku tak mengerti.
"Heh, setelah dari kantin mereka masuk kelas lalu ganti seragam, kan?" ucap Gaara sambil menjitak kepalaku. "Sudahlah. Diam dan ikuti saja ke mana pun aku pergi. Pokoknya jangan bicara kalau aku tidak bertanya. Daripada protes, ceritakan saja apa yang ada di depan mata. Cepat!"
Ya ampun. Galak sekali. Aku benar-benar tak percaya dalam sejarah kehidupanku akan bertemu orang sekeras kepala ini.
"Kamu yang keras kepala, Airi. Bukan aku."
Huh. Sudah galak, tak mau mengaku lagi. Semua serba salah. Bertanya langsung dibilang protes, mendumal dalam hati juga disahuti. Menjengkelkan. Aku tak diberi celah sama sekali.
"Itu namanya konsekuensi. Mau keluar dari suatu masalah itu tidak gampang."
Nah, lihat sendiri, kan? Dia mulai menyahuti lagi. Benar-benar.
"Kamu pikir aku senang punya tugas seperti ini, hah? Ini juga merepotkan, tahu?" omel Gaara.
"Ya, ya, ya. Baiklah. Aku tahu. Aku mengerti. Aku akan diam dan lanjutkan narasi ini," kataku segera.
"Bagus kalau begitu."
"Oke, Gaara. Catat ini! Catat baik-baik apa yang kemudian terjadi," kataku sebal.
Gaara memandangku sinis. "Tolong nada bicaranya biasa saja, Airi. Intonasi suaramu itu, sungguh tidak enak di telinga."
Oh, ya ampun. Hebat sekali. Sekarang bahkan nada bicaraku saja dikomentari. Apapula itu intonasi? Dia pikir dirinya juri dalam ajang kontes menyanyi apa?
"Tampaknya kamu benar-benar emosi, ya." Gaara kemudian memandangku dengan tatapan geli. "Ya sudah. Kita sama-sama diam dan lanjutkan cerita masa remaja Airi saja. Aku tidak mau tugasku hancur karena naratornya emosi."
Aku langsung menabok punggungnya karena tak tahan lagi. Entah kenapa orang ini suka sekali memancing emosi. Mana muka dan cara bicaranya juga pas lagi. Apa memang ini bagian dari pekerjaannya? Membuat klien marah lalu mengajaknya tempur sampai salah satu mati?
"Sejujurnya sih, tidak."
Aku mengepalkan tangan. Gaara menjawab pikiranku lagi. Oke! Percuma aku menanggapinya. Lebih baik aku abaikan pria aneh itu dan lanjutkan saja jadi pesuruhnya. Dengan begitu cerita cepat selesai, aku keluar dari dimensi masa lalu yang tak masuk akal ini, aku bebas dari Love Poison, dan tidak ada lagi narator yang teraniaya seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flashback Wind
Mistério / Suspense[SELESAI] Awalnya Airi tak pernah merasa ada yang salah dengan hidupnya. Bahkan Airi selalu berpikir masa remajanya telah ia lewati dengan sempurna. Semua dimulai dari datangnya pria asing yang bisa membaca pikiran Airi dan selalu muncul secara tiba...