16. Kalung

2.3K 226 41
                                        

"Airi belum punya pacar, kan?" tanya Davi, mendapati Luki hanya diam.

"Setahu gue belum sih," jawabnya kemudian, tanpa melihat Davi. "Lo ... kok bisa suka Airi sih, Dav? Gimana ceritanya?"

Davi merebahkan badan di tempat tidur Luki. "Sebenarnya sudah sejak dulu, sih. Waktu SMP, nggak sengaja gue pernah ketemu dia. Saputra dan yang lain juga sudah sering ngomongin cewek yang namanya Airi dari kelas sebelah. Dia manis banget, kan?"

"Lo sudah suka Airi sejak SMP?" Sekali lagi Luki dibuat kaget dengan pernyataan Davi.  "Bukannya lo pernah bilang lo suka siapa tuh, teman sekelas lo waktu itu? Kalau nggak salah namanya Andina. Bahkan sampai kita masuk SMA kemarin, lo kadang masih ngomongin dia."

Davi tertawa kecil. "Iya sih, gue memang suka Andina, tapi gue lebih penasaran sama Airi daripada sama dia. Lagi pula Andina sekarang sudah punya pacar. Kami dulu memang cukup dekat, tapi sekarang sudah nggak. Gue nggak bercanda kali ini, Ki. Kalau lo meragukan perasaan gue, kenapa lo nggak coba dekatkan gue sama Airi aja?"

"Apa?" Luki langsung melirik sobatnya tajam.

"Yahh, muka lo kenapa begitu? Lo nggak mau bantuin gue, ya?" tanya Davi saat menyadari ekspresi dari wajah temannya. "Eh, tunggu! Jangan-jangan lo suka Airi juga!"

Luki tampak kaget, namun hanya sekilas. Ia segera membalikkan badan lalu berlagak sibuk menata bukunya yang berserakan di meja belajar. "Gue cuma nggak mau ikut campur urusan orang. Kalau lo suka Airi lo dekati dia aja dengan cara lo sendiri. Jangan libatin gue."

"Nggak asik lo, Ki! Teman macam apa sih lo ini?" dumal Davi, melempar kepala Luki dengan bantal.

Luki menoleh sebal. "Lo sebenarnya ada niat apa datang ke sini? Lo ke rumah gue bukan cuma biar bisa pulang bareng Airi, kan?"

"Ah, iya. Hampir aja gue lupa tujuan utama gue ke sini apa," Davi menegakkan punggung. "Kalung! Gue lagi mau nyari kalung gue yang hilang, Ki. Apa lo lihat kalung gue jatuh di sekitar rumah lo? Sudah hampir tiga hari gue nyariin tapi nggak ketemu juga. Lo tahu kan, kalung yang biasa gue pakai?"

"Kemarin gue lihat kalung itu," ujar Luki sambil melanjutkan menata buku.

"Ah, syukurlah. Ternyata gue masih beruntung kalung itu ada di tempat lo," gumam Davi, begitu lega.

"Sayangnya kalung itu nggak di sini sekarang." Namun ucapan Luki berikutnya membuat Davi memekik kaget. "Waktu itu pas gue nyariin lo sepulang sekolah, sebenarnya gue mau balikin kalung itu sama lo, tapi karena suatu hal gue jadi lupa."

"Maksud lo kalung gue hilang atau gimana?" Davi menatap Luki tak mengerti.

"Kalung lo nggak hilang kok, cuma gue tinggal di sekolah. Di laci kelas."

"Hoh, makasih udah nyelametin kalung gue." Davi mengembus napas lega sekali lagi.

"Sepertinya kalung itu penting banget buat lo," ucap Luki. Meski rasa penasaran tersirat jelas di wajahnya, namun tidak dengan nada bicaranya. "Memang apa istimewanya kalung itu?"

"Kalung itu pemberian kakak gue, Ki. Kakak bilang kalung itu bawa keberuntungan bagi pemakainya. Kalung itu sudah seperti bagian dari diri gue," terang Davi.

"Apa lo benar-benar merasa beruntung saat memakai kalung itu?" tanya Luki lagi.

Davi berpikir sejenak. "Meski nggak selalu beruntung, tapi beberapa hal yang dulu pernah gue inginkan sekarang sudah jadi kenyataan. Gue merasa lebih percaya diri, mungkin bisa dibilang seperti itu."

***Flashback Wind***

Jam sudah cukup siang. Airi bahkan sudah kembali dari kantin bersama Emily dan Violin. Ketiganya tampak masuk kelas sambil membicarakan murid baru. Kabarnya besok ada murid pindahan yang akan dimasukkan ke kelas mereka.

Flashback WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang