Di saat suasana kikuk dan menggelikan juga tak terduga menyelimuti atmosfer kelima anak di sana, tiba-tiba seseorang memanggil Airi.
"Airi!" panggilnya, cukup keras.
Airi cepat menengok, dan mendapati Luki telah berada di belakangnya. "Ya?"
"Itu, majalah Rai kenapa bisa di tangan lo? Lo pasti salah ambil buku, ya?"
Sejenak Airi tampak bingung kenapa Luki tiba-tiba datang dan berbicara seperti itu. "Aah!" Namun Airi segera paham apa maksudnya. "Ooh, ini punya Rai? Pantas isinya kayak gini. Gue juga kaget pas barusan lihat gambarnya. Gue salah ... ternyata," ucapnya sambil menggulung majalah itu.
Saputra, Davi, Terry dan Galang saling berpandangan saat mendengar nama Rai disebut.
"Ki, gue percayakan barang ini sama lo. Tolong bawa jauh-jauh dari gue dan bakar aja kalau perlu. Gue ke kantin dulu, ya!" Airi memberikan majalah itu ke tangan Luki lalu cepat-cepat menuruni tangga. Ia tak memedulikan empat cowok di depannya lagi gara-gara terlalu bersemangat untuk pergi.
Sesaat setelah menuruni sekitar tiga anak tangga, Airi sengaja berhenti dan menengok ke atas. Ia melihat Luki sedang diserbu oleh Terry dan yang lain. Sepertinya mereka berempat tertarik dengan majalah dewasa milik Rai.
Airi tersenyum pada Luki saat cowok itu sadar dilihat olehnya. Luki menggaruk tengkuknya, seperti hendak membalas senyum namun tak yakin. Sikapnya yang malu-malu itu tentu membuat Airi ingin tertawa.
"Sebenarnya dia cowok yang baik," ucap Gaara yang sejak tadi bersandar di tiang dekat tangga.
"Maksudmu Luki?" tanyaku. "Bukan sebenarnya, tapi Luki memang cowok yang baik. Dulu dia sering muncul tiba-tiba dan membantu saat aku dalam masalah."
"Muncul tiba-tiba?" Gaara terkekeh.
"Maksudku tidak seperti caramu yang ajaib begini," kataku segera.
"Kamu salah, Airi. Harusnya kamu curiga kalau Luki bisa selalu muncul tiba-tiba dan membantumu keluar dari situasi buruk, seperti tadi misalnya," ucap Gaara membuatku menatapnya tak mengerti.
"Jadi maksudmu, aku harus curiga pada cowok yang sudah menyelamatkanku dari pandangan buruk orang? Yang benar aja. Waktu itu aku justru sangat berterima kasih karena Luki datang."
"Ah, dasar. Dia yang sebelumnya ada jauh di belakangmu, bisa tahu apa yang Rai beri kepadamu. Dia juga dengar apa yang Terry dan Saputra ucapkan terhadap kamu, kan? Cobalah dipikir lagi. Bukannya itu semua tidak akan terjadi kalau dia tidak terus memperhatikanmu meski dari kejauhan? Harusnya dulu kamu sadar seberapa besar dia memperhatikanmu setiap hari."
Aku terdiam. Jika harus kembali mengingat Luki pada saat itu, aku tak tahu harus berbicara apa. Terlalu banyak atau malah mungkin sedikit hal yang telah terjadi di antara kami berdua. Yang aku tahu, Luki sangat baik kepadaku. Namun jika harus membicarakan perasaanku atau perasaannya, itu adalah hal yang mungkin harus kulewati ulang lagi bersama Gaara. Aku tidak yakin aku benar-benar masih mengingatnya.
***Flashback Wind***
"Lain kali kalau dikasih sesuatu sama Rai, paling nggak dilihat dulu sampulnya," ucap Luki. Ia dan Airi sudah duduk di halte sekarang, sedang menunggu bus untuk pulang.
"Benar-benar," geram Airi. "Nggak akan ada lagi lain kali. Gue sudah kapok, Ki. Hampir aja gue dikira penyuka majalah begitu sama Terry dan yang lain. Sumpah, bikin malu banget."
Luki langsung tertawa menanggapi perkataan Airi.
"Padahal gue sudah nunggu kedatangan Rai di kelas buat mukul kepalanya pakai sapu. Sayang itu bocah malah bolos sampai jam pelajaran berakhir. Heran sama dia. Apa yang ada di kepalanya cuma seperti itu aja? Gue benar-benar hampir mati hari ini. Apalagi tadi ada dia. Gue kan malu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Flashback Wind
Mystery / Thriller[SELESAI] Awalnya Airi tak pernah merasa ada yang salah dengan hidupnya. Bahkan Airi selalu berpikir masa remajanya telah ia lewati dengan sempurna. Semua dimulai dari datangnya pria asing yang bisa membaca pikiran Airi dan selalu muncul secara tiba...