22. Putus

2K 264 61
                                    

Hari itu hujan dari pagi sampai siang. Tak heran Airi dan anak-anak sekelas lain malas keluar kelas biarpun jam istirahat sudah tiba. Hujan yang cukup deras membuat mereka lebih memilih duduk-duduk di kelas daripada main-main di luar.

"Untung aja gue bawa bekal. Gue paling malas ke kantin kalau hujan begini," ujar Violin sambil mengeluarkan kotak makan dari tasnya.

"Lo bawa apa, Lin?" Airi yang juga sudah mengeluarkan kotak yang sama bertanya. "Gue dibawain roti selai sama Mama."

"Mama gue bikin dadar gulung. Lo mau coba? Enak lho, Ri." Violin menunjukkan isi kotaknya yang berisi beberapa buah makanan berwarna hijau itu.

"Boleh deh," Airi mengambil satu potong lalu memakannya. "Hm, manisnya pas. Enak banget, Lin!" ujarnya dengan satu jempol tangan ditampilkan.

"Nyokap gue memang jago masak. Kapan-kapan lo harus main ke rumah gue, Ri. Lo cobain deh soto ceker buatannya. Dijamin ketagihan."

"Oke, kapan-kapan!" Airi menjawab sambil melirik Rai yang terus melihatnya. "Ada apa, Rai?"

Rai cuma mengangkat bahu. Tampaknya ia sedang malas sekali seharian. Terbukti sejak tadi ia tak bergerak dari bangku dan mejanya.

"Dia pasti kelaparan," Violin berceletuk setelah memperhatikan Rai sejenak.

Airi menatapnya lagi. "Lo mau nyobain dadar gulung buatan Mamanya Violin?" tawarnya.

"Nggak, nggak boleh! Ini cuma tinggal dua potong. Satu buat gue yang masih lapar, satu lagi jatah Emily!" Violin langsung menarik kotak makannya ke dalam laci sebelum Rai menjawab. Airi tertawa kecil melihat tingkah Violin. "Kenapa lo nggak ke kantin aja, Rai? Dingin-dingin begini enaknya makan bakso panas pakai sambal super pedas."

Rai mendengus, "Dingin-dingin tuh paling enak selimutan di kamar," sahutnya tanpa bergerak. "Apalagi buat yang sudah punya istri. Dingin-dingin empuk nikmat tiada tara."

Airi dan Violin langsung berdecak jijik.

"Pengantin baru lebih enak lagi lho, Rai!" Riga yang baru lewat menyambung. "Ditambah sambil mutar lagu dangdut. Asoy geboy, dingin-dingin mari digoyang, Bang!"

"Mantap jiwa!" sahut Rai dan keduanya mendadak kompak nyanyi lagu Bang Jali seraya bergoyang-goyang pinggul.

"Ga, lo ngapain sih malah joget nggak jelas gitu? Jadi ke kantin nggak?" Jati yang rupanya sudah keluar kelas masuk lagi untuk menjemput Riga.

"Oh, sori, Jat! Jadi, dong! Let's go!" Tanpa perlu pamit pada Rai maupun yang lain Riga langsung pergi.

"Kalau mau ketawa, ketawa aja, Lin." Rai berceletuk saat melihat ekspresi Violin di seberangnya. Muka anak itu memang tampak geli gara-gara lihat Riga bergoyang pinggul tadi.

"Siapa yang mau ketawa? Sok lucu lo!" tanggap Violin, memasang muka pakem.

"Ala, kelihatan tuh pipi lo kayak balon kepanasan gitu. Bentar lagi meletus, dorrr! Kalau terus ditahan, entar keluarnya lewat bawah, lho! Iya kalau cuma suara, kalau aromanya kayak bangkai setan gimana coba? Kasihan gue sama Airi, kan? Ya nggak, Ai?" tambah Rai membuat Airi yang dari tadi menahan tawa ngakak seketika. Violin sendiri pura-pura terbatuk agar Rai tidak bangga.

"Tuh, kan? Mau ketawa aja dibikin batuk-batuk. Entar batuk sambil kentut gue ketawain, lho!" canda Rai lagi-lagi membuat Airi semakin tergelak sementara Violin mati-matian menahan tawa.

"Lihat tuh, Ai! Bibir orang yang nahan tawa tuh mirip pantat ayam, ya? Mengkerut, keriput-keriput...."

"Kayak lo pernah lihat pantat ayam aja," Violin masih coba menunjukan sikap galak meski matanya berkata lain.

Flashback WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang