9. Jaga Rahasia

2.8K 266 35
                                        


Daripada semakin panik, maka Airi berlari menghampiri mereka dan ia langsung menyambar ponselnya dari tangan Rai. "Lo ngomong apa sih, Rai? Candaan lo nggak lucu." Kemudian ia tertawa-tawa aneh membuat Davi menatapnya heran.

Walau terlihat bingung, Davi memeluk bola basketnya dengan sebelah tangan kemudian pergi dari hadapan Rai juga Airi seolah tak ada apa-apa.

"Omong-omong, ini sudah mulai sore. Sebaiknya lo cepat pulang." Mendadak Davi menoleh dan berkata pada Airi saat baru berjalan beberapa langkah. "Bahaya," tambahnya sambil melirik Rai sebentar.

Airi terpaku. Apa maksud perkataan itu? Apa Davi mengkhawatirkannya? Apa dia sedang memberikan pesan atau sejenis perhatian padanya? Pipi Airi jadi merona dan bibirnya terus mengembang dengan sendirinya.

"Mau jalan-jalan keliling sekolah dulu nggak, Ai?" Rai yang tiba-tiba bersuara membuat Airi tersadar dari angan-angannya.

"Nggak! Nggak perlu." Airi langsung meloncat ke samping. "Gue mau langsung pulang," tolaknya sambil membuat jarak dari Rai. Ia jelas mengingat kata 'bahaya' yang Davi ucapkan. Tak perlu diragukan, orang ngeres ini pasti adalah 'bahaya' yang dimaksud olehnya.

"Wah, sayang banget," gumam Rai prihatin.

Airi membenarkan letak tas kemudian berdeham. "Lain kali, kalau mau bantu orang itu lihat-lihat keadaan. Jangan asal nyelonong begitu," ujar Airi dengan gaya sok tenang. "Untung Davi nggak percaya."

"Bantu orang?" Rai malah tersenyum aneh mendengar kata itu. "Siapa juga yang mau bantuin lo?" ucapnya membuat Airi menatapnya heran.

"Lalu tadi itu apa?"

Rai mengangkat bahu, "Gue cuma senang aja lihat orang lain panik, bertingkah gelagepan," ujarnya ringan. "Melihat lo berteriak sama lari-lari kayak tadi, itu sungguh pemandangan jarang. Lo kan biasanya tenang, anteng, nggak bising kayak barusan. Itu lucu deh, Ai."

"Apa?!" Airi tentu saja kaget mendengar jawabannya.

Rai mangut-mangut dengan raut geli. "Maaf, gue nggak jadi minta foto dia. Lagi pula, harusnya dia nggak cepat pergi kalau mau tahu apa yang sudah selembar Triplek lakukan terhadapnya."

"Lo belum ngasih tahu fotonya? Kalau begitu, apa yang tadi lo omongin sama dia?" tanya Airi penasaran.

"Apa, ya?" Rai tampaknya berpura-pura lupa. "Pokoknya sesuatu yang lebih menarik," ujarnya kemudian berlalu begitu saja.

"Hey, Rai!" Airi meneriakinya geram. "Lo bilang apa sama cowok tadi?" serunya. "Hei!"

Rai cuma melambaikan tangan tanpa perlu repot menoleh ke belakang.

"Rai!" teriak Airi lagi tapi tetap tidak dipedulikan.


"Raihan Gazali keren, ya. Tingkahnya benar-benar menyebalkan." Gaara terkikik saat aku masih fokus pada keberadaan Airi. "Apa kamu benar-benar pernah menjadi penguntit seperti itu, Airi? Menggelikan sekali."

Aku mendecak sebal. Aku benci teringat kejadian memalukan. Entah apa yang sebenarnya sering kualami. Kadang aku merasa jika aku punya sebuah penyakit di mana semua kejadian memalukan selalu terputar ulang di kepala dengan sendirinya. Bahkan kejadian konyol dari waktu aku SMP sekalipun, aku masih bisa dihantui kejadiannya.

Saat bayangan itu datang, kadang aku ingin menjerit, ingin menjedotkan kepala ke tembok, ingin menendang pintu atau memukul benda apa saja di dekatku. Aku ingin melupakan hal-hal tak penting itu namun sia-sia. Semua selalu datang ke kepala secara tiba-tiba.

Flashback WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang