17 Agustus, 2012
07:20:19"Chanyeol?" Kedua alis Danbi terangkat heran ketika melihat Chanyeol berdiri di ambang pintu kamarnya yang terbuka, napas terengah-engah, pelipis berpeluh di tengah cuaca pagi yang sejuk. "Kenapa kau datang pagi sekali? Apa kau berlari ke sini?"
Chanyeol menelan ludah dan berjalan mendekati Danbi yang sedang duduk, kedua kakinya yang kurus menggantung dari bibir ranjang. Gadis itu tampak pucat, dan rambutnya agak kusut seolah ia baru bangun tidur, yang mungkin memang benar. Selebihnya ia terlihat seperti biasa. Tidak ada jejak air mata. Tidak ada bekas luka. Tidak ada histeria.
"Apa?" tanya Danbi. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada masalah?"
Chanyeol menggeleng. Danbi baik-baik saja. Ia tidak tahu kenapa ini membuatnya begitu lega sampai dadanya sesak. Ia sempat khawatir, bagaimana jika tidak ada yang berubah, bagaimana jika ia gagal, bagaimana jika waktu mengkhianatinya...
Dahi Danbi terlipat—sekarang ia yang tampak khawatir. "Chanyeol-ah, apa—oh sial, darah!"
Tangan Chanyeol terangkat. Sesuatu yang berwarna merah mengalir dari lubang hidungnya. Sebelum ia sempat bereaksi, Danbi sudah menjejalkan tisu banyak-banyak ke wajahnya dan memaksa Chanyeol duduk di pinggir ranjang dengan menarik tangannya. Untuk seseorang yang begitu kecil, Danbi ternyata sangat kuat. Chanyeol merasa terlalu pening untuk melawan.
Danbi menekuk lututnya sedikit agar tatapan mata mereka setara. "Apa kau sakit?"
Ia tidak pernah memaju-mundurkan waktu sekaligus seperti ini. Rasanya sangat tidak enak. Mungkin seharusnya Chanyeol tidak terburu-buru, tapi ia tidak bisa tenang sampai ia tahu keadaan Danbi. Bahkan satu hari terasa terlalu lama untuk menunggu.
Seorang perawat mengetuk pintu kamar dan mempersilakan dirinya sendiri masuk untuk mengantar sarapan Danbi. Bersama dengan nampan makanannya, si perawat itu menyertakan setangkai mawar putih.
"Kita telah kehilangan seorang rekan yang sangat baik," perawat itu memberitahu mereka dengan sendu. "Perawat Lee meninggal dalam kecelakaan lalu lintas kemarin. Mari berdoa bersama semoga Perawat Lee dapat beristirahat dengan tenang."
Setelah perawat itu meninggalkan ruangan, Chanyeol mengeluarkan ponsel untuk mengecek portal berita daring. Kecelakaan di Sincheon sudah diberitakan. Satu orang meninggal, si pengemudi mobil terluka tapi tidak fatal.
Danbi duduk di sebelahnya dalam diam. Ia tidak ikut melihat liputan berita itu. Gumamnya, "Dia mati."
"Aku tahu," balas Chanyeol. Aku ada di sana dua kali.
Sudut-sudut bibir Danbi terangkat lemah. "Seandainya aku bisa menghentikannya," katanya, kedua mata turun ke lantai. Kakinya yang menggantung bergoyang pelan maju-mundur. "Seandainya saja aku punya kekuatan untuk mengubah keadaan. Aku melihat kematiannya datang, tapi tidak bisa berbuat apa-apa."
Lama Chanyeol membiarkan kata-kata itu mengisi udara, kemudian ia baru membalas, "Tidak."
Danbi mengangkat kepala untuk menatapnya.
"Hidup dan mati bukan sesuatu yang bisa dikendalikan," kata Chanyeol.
"Begitu?" Danbi menghela napas. "Yah, kurasa begitu."
Bahu kurus Danbi yang membungkuk tampak sangat ringkih dan kesepian. Chanyeol teringat pada pemandangan kegilaannya yang bisa terjadi jika Chanyeol menyelamatkan perawat itu. Ia memutuskan bahwa ini hal yang benar. Menginterupsi satu kematian hanya mengakibatkan kematian yang lebih banyak. Ini sudah benar. Danbi mungkin sedih, tapi ia aman. Dan yang terpenting, Chanyeol bersamanya.
Sebelum Chanyeol menyadari apa yang ia lakukan, tangannya sudah terulur melingkari pundak gadis itu dan meremas lengannya lembut, berharap itu bisa memberi kehangatan yang tidak seberapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Being
FanfictionKemampuan untuk mengendalikan waktu tidak bisa menyelamatkan Park Chanyeol dari perpisahan.