7 September, 2012
14:14:03Matahari bersinar terik hari ini. Chanyeol merentangkan kedua tangannya di udara dan menarik udara banyak-banyak untuk paru-parunya. Sudah lama sejak mereka mendapat matahari yang benar-benar panas. Hujan terus belakangan ini, begitu sering hingga Chanyeol khawatir ia akan lupa seperti apa rasa panas matahari di atas kulitnya.
Danbi, sebaliknya, tidak menyukai matahari seperti Chanyeol. Duduk di bangku taman bersebelahan, Danbi lebih banyak menunduk, tangan kiri mengutak-atik gelang rumah sakit di tangan kanannya. Chanyeol menoleh padanya ketika gadis itu mendadak terkesiap pelan.
"Yah... robek." Danbi menunjukkan padanya secarik sobekan gelang berisi identitasnya itu dengan tampang memelas. Tapi, ekspresi wajahnya kembali datar pada kejap berikutnya. "Ya sudah, nanti minta yang baru saja." Ia melemparkan gelangnya sembarangan. Sepotong kertas itu tertiup angin sebelum jatuh ke atas rumput tidak jauh dari bangku.
Chanyeol berdiri dan memungutnya kembali sambil menggerutu, "Jangan buang sampah sembarangan."
Danbi terkekeh melihatnya. "Gelang itu membuat kulitku gatal." Untuk menegaskan kata-katanya, Danbi menggaruk-garuk pergelangan tangan kanannya yang kulitnya memerah.
Chanyeol memutar-mutar gelang itu dan tulisan-tulisan yang tertera di sana kembali menarik perhatiannya. "Siapa namamu?" tanyanya. "Nama keluargamu."
"Aku tidak tahu."
Chanyeol mengerutkan alis.
"Aku tidak tahu," ulang Danbi, khawatir Chanyeol menganggapnya berbohong. "Mereka bilang namaku 'Ryu', tapi aku tidak yakin."
"Tidak yakin?"
"Aku tidak ingat sebagian besar kehidupanku sebelum tinggal di sini. Aku ingat temanku yang mati. Aku ingat hari pertama aku datang ke sini, umurku saat itu baru tiga belas tahun. Sisanya gelap gulita." Danbi mengangkat bahu. "Namaku bisa saja Ryu Danbi, bisa saja tidak."
Jadi itu nama yang dicoret-coret di gelang rumah sakit ini. Chanyeol hanya bisa membaca Danbi.
"Aku tidak butuh nama keluarga," tambah Danbi. "Walaupun aku tidak ingat apa-apa, aku tahu aku sudah dibuang. Aku tidak punya rumah maupun keluarga. Bahkan tidak ada yang pernah mengunjungiku, sampai kau akhirnya muncul."
Suaranya getir. Chanyeol tidak bisa membayangkan seberapa besar kemarahan yang Danbi simpan selama bertahun-tahun. Dia tidak tahu apa artinya keluarga. Dia tidak tahu apa itu rumah.
Chanyeol merasa ia perlu mengatakan sesuatu—apa saja. Mungkin ia bisa mencoba menghibur Danbi. Atau membuatnya tertawa. Yang keluar dari mulutnya justru adalah, "Pada umur dua belas tahun, aku pertama kali menyadari bahwa aku bisa mengendalikan waktu."
Danbi menoleh ke arahnya, satu alisnya terangkat. Bingung.
"Aku bisa mundur ke belakang satu detik, satu menit, bulan, tahun, bahkan berdekade ke belakang, atau maju ke depan sebanyak itu. Aku juga bisa menghentikan waktu sementara. Kalau mau, aku bisa saja mendongak dan menahan waktu untuk melihat seperti apa bentuk kepingan salju yang mengambang di atas kepalaku."
Sekarang, dahi Danbi terlipat. Tidak mengerti.
"Terjadinya secara tidak sengaja juga, kira-kira mirip dengan penglihatan masa depanmu." Chanyeol memutar kembali ingatan dari saat itu. ia tidak akan pernah melupakannya. "Aku sedang bermain dengan teman-temanku di dekat area konstruksi bangunan, dan ada buldoser.. kau tahu, traktor besar yang dipakai untuk mendorong dan mengangkat material? Buldoser itu lepas kendali, bergerung aneh dan berputar-putar dengan arah yang kacau."
Danbi mendengarkan dengan kedua matanya lekat pada wajah Chanyeol. Entah kenapa itu membuat Chanyeol merasa tegang selagi melanjutkan ceritanya, seolah ia sedang mengerjakan ujian penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Being
FanfictionKemampuan untuk mengendalikan waktu tidak bisa menyelamatkan Park Chanyeol dari perpisahan.