00:29

169 36 13
                                    

12 Juli, 2012
08:23:20

"Jadi, kau bisa melihat masa depan," kata Chanyeol hati-hati, berusaha membuat kalimat itu terdengar waras. Tidak berhasil. Ia masih terdengar sinting.

"Ini pertama kalinya aku punya pengunjung," Danbi mengumumkan dengan nada ceria. Ia mengistirahatkan kedua tangannya di punggung selagi mereka berdua berjalan bersisian di sekitar dalam gedung. "Bahkan suster-suster pun terkejut."

Mereka melewati pintu-pintu kamar yang tertutup rapat di kiri dan kanan. Chanyeol selalu membayangkan rumah sakit jiwa sebagai tempat yang menyeramkan—penuh jeritan dan tangan-tangan liar yang frustrasi menggapai-gapai di antara jeruji jendela. Tidak ada hal-hal seperti itu di sini. Jendelanya juga tidak berjeruji, rupanya. Kacanya ditutupi tirai seperti seharusnya. Tidak menyeramkan sama sekali.

"Apa yang bisa kau lihat?" tanya Chanyeol.

Danbi berbalik untuk menghadap Chanyeol sambil tetap berjalan mundur. "Kau berbeda," katanya, tidak menjawab pertanyaan.

Chanyeol memutar bola matanya. "Iya, dan aneh dan tidak bisa dibaca dan apalah lagi. Apa hubungannya itu denganku?"

"Aku tidak bisa melihat masa depanmu."

"Oh, ya?"

"Aku bisa melihat masa depan semua orang kecuali masa depanmu," ulang Danbi.

"Iya, aku sudah dengar. Apa aku seharusnya merasa lega karena itu?"

Danbi tidak repot-repot menjawab pertanyaannya. "Saat aku melihat mata seseorang, aku melihat kilas-kilas masa depan mereka. Sebagian hanya hal-hal sederhana yang akan terjadi besok, atau lusa, minggu depan, bulan depan. Tapi kadang-kadang aku melihat perkara yang lebih jauh dan rumit; pertemuan, perpisahan, kecelakaan, menang lotere, kelahiran, kematian." Ia berhenti sejenak seolah akan menambahkan sesuatu, tapi akhirnya memutuskan untuk membatalkannya. "Semuanya jelas, tempat dan waktunya. Aku tidak mengerti bagaimana. Pokoknya aku tahu saja. Itu terjadi setiap saat, pada semua orang, entah aku mau atau tidak."

Mereka berjalan ke halaman belakang dan Danbi menarik tangannya untuk mengajaknya duduk di bangku kayu di bawah pohon apel. Danbi memberitahunya bahwa ini bangkunya yang biasa. Pada musim panas, terlalu gerah untuk duduk di dalam kamar, tapi ia tidak suka sinar matahari di kulitnya, jadi ia akan menghabiskan waktu berlindung di bawah naungan pohon di bangku ini.

"Kau pasti sedang berpikir betapa gilanya aku."

"Tidak," bantah Chanyeol. "Sebenarnya tidak juga."

Danbi, juga orang-orang di sini tidak sesuai dengan gambaran Chanyeol tentang "orang gila". Mereka lebih seperti orang bingung—linglung, diam, kadang-kadang berceloteh sendiri, sulit diajak bicara, tapi tidak persis seperti orang gila. Seperti apa definisi kegilaan yang sebenarnya?

Danbi tidak percaya padanya. "Kau mau bukti?"

Sebelum Chanyeol sempat menjawab, tangan kanan Danbi terangkat. Jari telunjuknya menuding ke arah seorang wanita lansia yang sedang berjalan di atas jalan berbatu dengan dibimbing seorang perawat bertubuh mungil yang tersenyum ramah.

"Dia akan mati tanggal enam belas Agustus pukul setengah satu siang, ditabrak mobil yang remnya blong di depan pintu masuk stasiun kereta bawah tanah Sincheon."

Secara relfleks Chanyeol meraih telunjuk Danbi untuk menurunkannya. "Tidak boleh menunjuk-nunjuk orang begitu, tidak sopan. Dan, astaga, jahat sekali mulutmu itu."

"Itu kebenarannya," balas Danbi tenang. "Tunggu dan lihat saja."

Chanyeol merasa merinding. Danbi terdengar benar-benar yakin sehingga Chanyeol ragu apakah ia harus percaya, walaupun logikanya jelas-jelas sudah yakin semua ucapan gadis itu hanya omong kosong belaka. Gadis ini sudah terbukti secara medis kalau mentalnya bermasalah. Kalau Chanyeol mendengarkannya, bukankah itu berarti ada yang salah juga dengannya?

Mungkin batas kewarasan dan kegilaan hanya setipis ini.

Danbi memutar kepalanya ke arah Chanyeol. "Aku tidak bisa melihat apa-apa padamu. Hanya... hening."

Chanyeol sudah kehilangan minat untuk bicara lebih banyak tentang kemampuan Danbi yang tidak masuk akal. Balasannya asal-asalan saja, "Terima kasih banyak. Aku lega sekali. Aku tidak mau disumpahi mati besok karena disambar petir."

Danbi menanggapi sarkasme Chanyeol dengan terbahak-bahak. Suaranya serak seolah sudah lama ia tidak tertawa. "Ini bagus, kurasa," desahnya. "Keheningan, akhirnya. Setelah sekian lama."

Walaupun Chanyeol menolak menanggapinya dengan serius, tetap saja ia jadi bertanya-tanya—seandainya memang benar, seandainya saja—bagaimana rasanya melihat, mendengar, mengetahui segalanya yang akan terjadi pada seseorang yang bahkan tidak menyadari apa-apa? Tidak akan ada yang percaya. Sama seperti tidak ada yang akan percaya jika Chanyeol mengumumkan bahwa ia memiliki waktu di dalam genggaman tangannya.

Paling-paling ia akan disangka gila.

Time BeingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang