00:35

52 17 3
                                    

12 Juni, 2012
09:01:01

Ponselnya berbunyi. Chanyeol terbangun dengan sengatan di kepala. Suara dering nyaring berulang-ulang itu seperti menusuk-nusuk tengkoraknya. Chanyeol tidak bisa membedakan apakah itu alarm atau telepon. Otaknya menolak diajak berpikir. Matanya tidak mau disuruh membuka.

Kedua tangan dan kaki Chanyeol terasa nyaris tidak bisa digerakkan. Butuh seluruh tekad untuk menggerakkan tangannya mencari sumber dering itu.

Bukan alarm, seperti dugaan pertamanya. Itu telepon. Pandangan Chanyeol masih terlalu buram untuk melihat nama kontak peneleponnya. Bahkan menggeser ikon jawab membutuhkan banyak tenaga.

"Ya, Chanyeol, kau ketiduran?"

Chanyeol setidaknya lega karena bisa mengenali suara Baekhyun. Ia mencoba menjawab, tapi mulutnya kering, suara yang keluar dari tenggorokannya hanya seperti bisikan angin.

"Baru juga hari pertama, kau sudah telat saja. Cepat ke kampus, aku dan Jongdae sudah menunggumu sampai keriputan. Bukannya kita sepakat berangkat bersama?"

Chanyeol berhasil melontarkan pertanyaan lirih, "Apanya?"

"Kunjungan ke rumah sakit. Halooo, kau baru bangun, ya?"

Kunjungan ke rumah sakit? Kepala Chanyeol berputar mencari jam dinding. Mencari kalender di atas meja. Mereguk tempat di mana ia sekarang berada. Kamarnya. 12 Juni 2012. Pukul sembilan lewat sepuluh. Pagi, menurut sinar matahari yang mengintip lewat celah tirai jendela sempitnya.

Entah bagaimana Chanyeol memiliki kekuatan untuk melontarkan badannya berdiri dan lari. Lari sampai betisnya menjerit. Lari sampai paru-parunya terasa menciut nyeri. Pokoknya lari.

Rumah sakit jiwa itu tidak berubah berapa kali pun Chanyeol datang dan pergi. Chanyeol bahkan hafal setiap koridor di luar kepala—kerak cokelat bekas tanah di dinding dekat kantor perawat sampai jumlah anak tangga menuju atap yang terbuka.

Sama sekali tidak sulit menemukannya. Gadis itu ada di halaman belakang, duduk di bangku taman favoritnya di bawah pohon apel. Ia tidak tahan gerahnya berada di dalam kamar, tapi juga tidak suka kulitnya diterpa panas matahari. Jadi di bangku inilah ia menghabiskan waktu. Ia bisa duduk di sana sepanjang hari selama musim panas.

Chanyeol berhenti di hadapannya. Banjir peluh dan terengah-engah. Danbi mengangkat kepala.

Ini pertama kalinya Danbi melihat Chanyeol.

Ini bukan pertama kali Chanyeol melihatnya.

"Kau akan berpikir aku gila," Chanyeol memulai, "tapi aku tahu siapa kau dan apa yang kau lihat."

Kedua mata Danbi menatapnya penuh tanya. Heran.

"Namamu Danbi, dan kau bisa melihat masa depan setiap orang lewat mata mereka. Tapi, kau tidak bisa melihat masa depanku." Chanyeol menelan ludah. "Karena aku berbeda. Aku datang dari masa depan."

Danbi mengerjap-ngerjap seolah ia baru menyadari perbedaan itu. Sekarang ia menatap Chanyeol takjub.

"Aku di sini untuk memberitahumu," Chanyeol batuk-batuk kecil, "kalau masa depanmu akan sangat menyenangkan. Aku akan banyak bernyanyi untukmu, dan kau akan menceritakan banyak hal tentangmu padaku. Setiap hari yang kau lewati akan terasa sangat cepat karena aku selalu bersamamu."

Sekarang, kedua alis Danbi bertaut dan tatapannya seolah sedang mengatai Chanyeol tidak waras. Tidak apa-apa. Danbi boleh menertawainya.

"Namaku Park Chanyeol. Senang bertemu denganmu."

Chanyeol menyengir lebar. Ia terlalu lega melihat Danbi hingga tidak langsung merasakan darah yang mengalir dari telinga kanannya.

Time BeingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang