17 Agustus, 2012
07:04:12Chanyeol tidak pernah berharap akan melihat apa yang saat ini sedang ia lihat.
Danbi memeluk sepasang kakinya ke dada erat-erat, bergoyang maju-mundur di atas ranjang rumah sakit seolah ingin menahan sakit dan membuat besinya berdecit-decit. Kedua matanya merah dan basah, dan membelalak liar. Ia berteriak-teriak pada dokter yang berusaha memeriksanya. Ia berteriak-teriak pada para perawat yang berusaha mendekatinya.
Ia berteriak-teriak pada Chanyeol saat melihatnya datang.
Bekas-bekas goresan merah darah tersebar di kedua pergelangan tangannya, di leher, di kaki, bahkan di wajahnya yang pucat pasi, seolah ia putus asa ingin mencabik kulit di sekujur tubuhnya sampai mati.
Butuh usaha empat orang perawat dan dua orang dokter untuk memegangi tangan-tangan dan kakinya agar mereka bisa menyuntikkan obat penenang untuk menidurkannya. Tapi, bahkan dengan obat-obatan di dalam sistemnya, bibir Danbi terus bergerak-gerak tidak tenang, menggumam cepat, "Berubah. Kenapa berubah. Kenapa hidup. Dia mati. Kulihat dia mati. Kenapa. Kenapa. Kenapa."
Seorang perawat mendesak Chanyeol untuk meninggalkan ruangan dan menutup pintu kamar itu rapat-rapat. Itu tidak berhasil membendung lolongan Danbi yang merana. Ia ketakutan. Ia berada di ambang kegilaan.
Liputan kecelakaan di Sincheon kemarin disiarkan di acara berita pagi ini. Dua orang meninggal; seorang pejalan kaki yang malang dan si pengemudi mobil. Satu korban pejalan kaki masih kritis. Empat orang lainnya terluka.
Kesadaran itu melintas di kepala Chanyeol selagi ia berdiri di depan pintu, menatap Danbi yang tertidur dengan gelisah di ranjang lewat jendela kecil yang kusam; selalu ada harga yang harus dibayar untuk bermain-main dengan waktu, dan terlebih lagi, untuk mencurangi kematian.
Chanyeol, lebih dari siapapun, seharusnya sudah memahami itu dengan baik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Time Being
FanficKemampuan untuk mengendalikan waktu tidak bisa menyelamatkan Park Chanyeol dari perpisahan.