12 September, 2012
21:09:22"Anu, eh, apa aku boleh memberitahumu soal ini, ya?" Danbi menyeletuk. Tepat waktu sekali untuk mengulur-ulur jam pulang. "Teman yang datang bersamamu setiap minggu itu, yang bernyanyi..."
"Yang mana?" tanya Chanyeol. "Temanku ada dua. Dua-duanya sama-sama bernyanyi."
"Maksudku yang hidungnya mancung, alisnya bagus seperti ini." Danbi meletakkan kedua jari telunjuk di atas alisnya sendiri yang tipis. "Aku tidak tahu namanya."
"Oh, Jongdae."
"Jadi itu namanya?" Danbi mengangguk-angguk. "Jongdae, ya..."
"Kenapa dengannya?"
Mendadak Danbi tersipu-sipu. "Itu... aku tidak sengaja melihatnya sekilas kemarin."
Dahi Chanyeol berkerut curiga. Apa gadis itu baru saja merona? Kenapa gadis itu merona? "Mengingat kami bertiga datang ke sini setiap hari Selasa untuk bernyanyi demi kalian semua, tentu saja tidak mungkin kau tidak melihatnya," katanya datar.
Danbi mengerjap-ngerjap, bingung. "Kenapa kau marah-marah?"
Chanyeol berdeham. "Siapa? Aku? Tidak."
Syukurnya Danbi tidak memperpanjang urusan perubahan suasana hati Chanyeol yang tiba-tiba. Pikiran gadis itu jelas-jelas sedang dipenuhi dengan hal lain. Hal-hal yang membuatnya merasa senang. Chanyeol bisa melihatnya tersenyum. Kenapa gadis itu tersenyum-senyum seperti itu membicarakan Jongdae?
"Dia sedang berdiri di atas altar," lanjut Danbi. "Mereka menikah di gereja. 20 Januari 2019. Wah, itu tidak lama lagi, kan? Hanya enam, tujuh tahun?"
"Hah?"
"Pengantinnya perempuan yang tinggi, eh, tidak terlalu tinggi. Tapi iya, tinggi. Agak kurus. Dia memakai gaun putih yang ekornya lebar. Cantik sekali. Dia berjalan sambil memegangi tangan ayahnya." Danbi meletakkan satu tangannya di siku Chanyeol untuk menunjukkan maksudnya—sebentar saja, lalu menariknya kembali. "Temanmu Jongdae sedang menunggunya. Mereka kelihatan bahagia sekali."
"Oh." Mendadak Chanyeol paham maksud Danbi dengan 'melihat'. Danbi hanya melihat masa depan, bukannya... bukan melihat Jongdae dan semacam terpesona padanya. Astaga. Kesadaran ini membuat Chanyeol merasa panas karena malu. Untung mulut besarnya belum berkata apa-apa.
Syukurnya, lagi, Danbi tidak menyadari air mukanya yang aneh. "Aku juga melihatmu ada di sana. Temanmu yang bernyanyi satu lagi itu juga ada. Kalian semua terlihat bahagia. Jarang sekali aku melihat sesuatu seindah itu."
Tanpa benar-benar berpikir, pertanyaan meluncur dari bibir Chanyeol begitu saja, "Apa kau juga ada di sana?"
"Tidak." Danbi memutar bola mata seakan merasa pertanyaan Chanyeol konyol. "Kenapa aku harus ada di sana?"
Chanyeol tidak sempat menjawab karena pintu kamar Danbi diketuk. Si perawat memberi isyarat tangan untuk memberitahu mereka bahwa waktu kunjungan sudah berakhir.
Chanyeol mengecek layar digital arloji. Angka menitnya baru saja berubah. 21:16. "Aku harus pulang."
Danbi mengangguk. Tersenyum simpul. "Terima kasih sudah mengunjungiku hari ini."
Chanyeol meninggalkan rumah sakit dengan langkah berat. Ia masih memikirkan penglihatan yang digambarkan Danbi padanya.
Tidak. Kenapa aku harus ada di sana?
Chanyeol belum menjawab pertanyaan itu tadi.
Karena aku akan mengajakmu. Kau akan melihat pernikahan itu secara langsung.
Apakah masa depan adalah hal yang mutlak, atau segalanya masih bisa berubah? Jika Chanyeol benar-benar berusaha, apakah Danbi nantinya akan melihat dirinya sendiri dalam imaji yang membahagiakan itu?
Chanyeol tidak tahu.
Malam itu, untuk pertama kalinya Chanyeol tidak kembali ke kamarnya di asrama akademi. Tangannya sudah berada di atas kenop pintu ketika ia mendadak berhenti. Dalam satu kejap, ia melompati malam menuju pagi. Matahari di luar sudah tinggi. Chanyeol berbalik kanan. Ia tidak ingin menunggu terlalu lama sampai akhirnya ia bisa kembali ke kamar sempit di rumah sakit jiwa itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Being
FanfictionKemampuan untuk mengendalikan waktu tidak bisa menyelamatkan Park Chanyeol dari perpisahan.