00:28

166 31 4
                                    

18 Juli, 2012
18:33:50

"Apa kita sedang menjalin semacam hubungan rahasia?"

Chanyeol sedang menguap lebar-lebar ketika Danbi mendadak bertanya begitu. Ia sontak langsung menutup mulutnya. "Apa?"

"Kau mengabaikanku kemarin, saat kalian bertiga datang lagi untuk memberi kami semua "terapi musik" itu," Danbi membuat tanda kutip di udara selagi mengucapkan dua kata paling akhir, "tapi tahu-tahu hari ini kau muncul lagi."

"Ya sudah, aku pulang saja."

"Tunggu!"

Chanyeol berdiri dari bangku kayu itu, tapi Danbi cepat-cepat meraih pergelangannya dengan dua tangan dan menariknya kembali duduk.

"Kau ini penggerutu sekali," Danbi mendumal. "Aku tidak akan tanya-tanya lagi. Jangan pergi."

Chanyeol hanya bercanda soal pulang, tapi gadis itu bereaksi lebih daripada yang ia harapkan. Hampir seperti panik. "Aku tidak ke mana-mana," katanya. Danbi mengangguk. Chanyeol menambahkan, "Eh, Danbi? Kau tidak perlu memegangiku."

Danbi melepaskan pegangannya dari pergelangan tangan Chanyeol dan bersedekap dengan canggung, kedua pipinya merona merah.

Mereka berdua duduk-duduk di halaman belakang lagi. Lebih tenang kala senja, saat lebih banyak pasien-pasien lansia yang keluar dari kamar untuk mencari udara segar. Chanyeol bertanya-tanya dalam hati, sambil memerhatikan mereka satu persatu, sudah berapa lama dan kenapa mereka berada di sini.

"Bagaimana harimu?" tanya Chanyeol, basa-basi.

"Ramai." Danbi mengangkat bahu. "Setiap kali mengangkat kepala, aku harus melihat. Rasanya menyebalkan."

"Ah, tentu saja." Chanyeol mengangguk-angguk, balasannya nyaris berupa reaksi otomatis.

Chanyeol sejujurnya tidak punya niat untuk kembali ke sini sejak pembicaraan terakhir mereka. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak omong kosong tentang kemampuan Danbi melihat masa depan. Tapi karena beberapa alasan, Chanyeol tidak bisa menahan diri. Ketika ia sadar, ia sudah berada di rumah sakit jiwa ini sekali lagi.

"Sejak kapan ini dimulai?" tanya Chanyeol. "Penglihatan masa depanmu."

"Kurasa umurku dua belas tahun waktu itu?" Danbi mendongakkan kepalanya sedikit sambil mengingat-ingat. "Aku melihat kejadian yang akan terjadi dalam beberapa detik ke depan. Aku sedang bermain petak umpet dengan teman sebayaku di rumahnya. Itu giliranku yang mencari. Dia berlari keluar dari tempat persembunyiannya saat aku menemukannya dan lari supaya aku tidak menangkapnya. Pada saat itu kami bertatapan dan aku melihatnya jatuh tergelincir dari puncak tangga. Penglihatan itu muncul hanya sepersekian detik sebelum terjadi. Aku berusaha meraihnya dan berteriak, 'STOP!'"

Danbi benar-benar berteriak dengan kedua tangannya terangkat di udara, memeragakan dirinya di usia dua belas tahun yang ketakutan ketika melihat teman masa kecilnya jatuh menyongsong ajal. Teriakannya yang tiba-tiba membuat beberapa orang menoleh curiga. Chanyeol cepat-cepat membungkuk meminta maaf. Tapi, Danbi bahkan tidak menyadarinya. Ia terus mengoceh.

"Tapi itu sudah telanjur terjadi. Dia jatuh dari tangga dan lehernya patah. Dia mati seketika. Aku memberitahu pada orang-orang dewasa tentang apa yang kulihat, tapi tidak ada yang percaya padaku saat itu."

Dan tidak ada yang percaya padanya sekarang, Chanyeol berpikir.

"Kau tahu apa yang lucu?" Tanpa benar-benar menunggu jawaban, Danbi melanjutan dengan sendirinya, "Orangtua temanku berpikir aku yang mendorongnya, dan aku mengarang-ngarang cerita karena takut dan tidak mau mengaku. Tentu saja aku tidak mendorongnya. Untuk apa aku mendorongnya?"

Danbi menoleh pada Chanyeol, tatapannya seolah menunggu Chanyeol ikut menyangkal bersamanya, tapi Chanyeol tidak mengatakan apa-apa, dan Danbi tidak menunggu terlalu lama.

"Mereka bilang aku gila. Aku berbahaya. Mereka memang tidak bisa membuktikan bahwa aku benar-benar bersalah, tapi aku juga tidak bisa membuktikan bahwa aku mengatakan yang sebenarnya. Mereka tidak bisa memenjarakanku, dan aku tidak bisa membela diri. Jadi, mereka mengirimku ke sini."

Danbi meluruskan kepala. Angin malam meniup ujung-ujung rambut hitamnya yang tidak rata. Chanyeol bertanya-tanya apakah gadis itu memotongnya sendiri, atau salah satu dari para perawat itu membantunya.

"Jangan-jangan mereka benar," Danbi berkata pada kekosongandi udara. "Jangan-jangan aku memang mendorongnya."

Time BeingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang