Gue capek parah abis kerja hari ini, mata gue ngelirik jam dan sekarang jam udah menunjukan jam sebelas malem di New York. Badan gue udah remuk anjir, sumpah gue capek parah. Masalahnya, tadi gue ngampus dulu, abis itu langsung pergi, plus semalem gue harus rela-rela tidur sejam doang buat belajar mata kuliah Hukum Internasional.
Andai aja gue bisa muter waktu ke masa-masa kejayaan gue di SMA. Masa-masa di mana gue sering bolos sama Diana ke McD, bolos bareng Ello, Dimas, Nael dan itu yang teranjing, gue dibawa ngebut-ngebutan sama mereka di jalan sepi. Sumpah, gue tuh emang takut banget naik motor, apalagi ngebut-ngebutan kayak gitu.
Intinya, SMA itu adalah masa gue yang berjaya.
Gak kayak sekarang yang guenya harus pinter-pinter ngatur waktu. Sumpah, hidup gue emang udah berubah seratus persen. Ternyata hidup itu ga semudah yang gue bayangin. Belum lagi gue dapet tekanan dari luar, yang gue sering di judge di mana-mana.
Man.
Sebelum balik ke hotel yang gue tempatin untuk dua hari, gue mampir dulu ke Starbucks sendirian. Gue jalan kaki doang, soalnya tempatnya tuh ga terlalu jauh dari tempat pemotretan gue. Langkah gue berhenti waktu ngeliat palang Starbucks udah ada di depan gue.
Gue mesen minuman kesukaan gue, kayak biasa sih green tea latte. Setelah itu, gue duduk buat nunggu nama gue dipanggil.
"Avril?"
Gue denger suara itu dan suara itu masih aja ga asing di telinga gue. Gue berani bersumpah kalo sekarang gue lagi berhalusinasi, ga mungkin dia ada di sini. Ga mungkin. Jadi, gue ga mengubris orang yang manggil nama gue itu, karna gue tau paling gue salah denger.
"Sorry, lo Avril kan? Avrillia Zara?"
Anjing. Dengan jantung yang rasanya udah kayak loncat ke kerongkongan, gue noleh dan seketika gue mati. Iya gue mati. Gila gue gemeteran parah. "Alvaro?" how can I?
"It's been a long ass time," kata cowok itu. "gue gabung ya?"
Sumpah itu refleks waktu gue ngangguk. Faktanya, gue masih beneran sayang sama orang yang ada di depan gue ini. Tapi gue tau bahwa faktanya juga, dia udah ga ada perasaan apapun sama gue. Ga ada. Ini awkward banget sumpah, Alvaro lagi minum kopinya dan gue cuma bertopang dagu, bengong.
"So, how's life? Sekarang lo model ya?"
"Good," kata gue bohong. "Iya, tapi gue tetep kuliah kok."
"Pasti lo ambil Hukum?" tanya Alvaro menebak-nebak.
Gue ngangguk. "Dan lo pasti ngambil Hubungan Internasional?"
Alvaro ngangguk dan ketawa pelan. "Tau aja lo," paparnya. "Gue ga nyangka, cewek kayak lo akhirnya tobat dan jadi feminim. Ah, Avril. Sekarang dari segi penampilan aja lo udah berubah parah."
"Wah parah ah lo."
"Eh, serius nih. Jadi lo hidupnya gimana sekarang?"
Alis gue terangkat sebelah, di detik selanjutnya gue ketawa. "Lah, gue udah bilang kalo gue baik-baik aja. Lonya gimana nih? Ada perkembangan ga?"
"You lied," kata Alvaro nyindir gue. "You're not okay and I've known it already."
Gue masang muka jelek gue. "Alvaro apaan sih. Dasar sok peramal lo."
iPhone gue getar-getar, ada pesan masuk gitu.
Louis: supeeeeeeeeeeeeeeeeer bbooooooooreeeeeeeeeeeeddddddddd
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] not so fangirl ;; 1d
Fanfiction[SECOND BOOK OF FANGIRL] Avril flew to America for college and fortunately, she met Louis Tomlinson and his-idiot-band-mates-5ever over again. She didn't know that she would be this lucky, became closer to her idols. Okay, you might say her...