forty four

796 145 138
                                    

❝ But when you commit suicide, you don't do the violance only to yourself; you inflict death upon those whom you least considered would be so afflicted ❞

***

Niall tidak habis pikir setelah membaca iMessage dari Louis.

Avril bunuh diri, kondisinya kritis.

"Hey," panggil Niall pada anggota band-nya serta beberapa kru yang berada di studio. "I need to go right now. We're gonna continue tomorrow."

Setelah mendapatkan pesetujuan dari yang lainnya, Niall pun segera bergegas ke California Hospital Media Center yang berada di pusat kota Los Angeles, yah, tidak terlalu jauh sih dari tempatnya saat ini.

Pikiran Niall kacau sekarang, seseorang terdekatnya baru saja berusaha untuk bunuh diri dan untungnya dia hampir selamat. Hampir selamat karena Avril belum juga sadar sampai saat ini, mungkin sudah sekitar 4 jam setelah Louis mengabarkannya.

"How's Avril?" tanya Niall sesaat ia sampai di depan ruang ICU dan menemui Louis. omong-omong Niall benar-benar menyetir dengan tidak karuan, bagaimana tidak, Avril sedang berada di dalam sana, ruangan ICU untuk berjuang hidup.

Louis berdiri di hadapan Niall, wajahnya yang tertekuk menjadi sebuah jawaban mengenai kondisi Avril saat ini, cewek itu tidak baik-baik saja.

"Louis?" panggil Niall yang menyadari bahwa Louis lagi-lagi menangis. Niall sadar bahwa Louis saat ini sedang terpukul.

"I was the one to blame," kata Louis sambil menunduk. "If only she didn't go to London, she wouldn't do this."

Niall menghela napas berat, menempuk pundak Louis sambil ia tersenyum tipis. "Don't blame yourself, Lou."

Louis menggeleng. "No, I was the one to blame. I put her into this mess."

Sementara itu, Niall hanya bisa diam; dia tau bahwa Louis saat ini hanya butuh didengarkan, bukan diberi komentar apalagi saran. Niall yakin bahwa Louis dapat berpikir jernih sesaat setelah ia tenang.

"I'm sorry," kata Louis sebelum akhirnya ia kembali menangis, mulutnya terkatup rapat hanya saja air matanya keluar.

Niall tau benar tipikal Louis, pada dasarnya ia adalah anak mama yang cengeng. Seandainya saja Johannah Deakin masih hidup, Louis pasti sedang menangis sekencang-kencangnya di dalam pelukan ibunya. Niall sangat mengerti dengan yang terjadi dengan Louis belakangan ini dan apabila Avril juga pergi, maka lukanya semakin dalam.

Begitu juga dengan Niall; kepergian Avril akan menorehkan luka yang dalam di hatinya.

"Have you told the others?" tanya Niall, berusaha untuk tidak ikut-ikut menangis. Astaga, Niall juga cengeng, tapi setidaknya dia tidak boleh menangis ketika Louis juga sedang menangis.

"Harry and Zayn both are in London, Liam is in Milan, Diana is still in Indonesia."

Niall mengangguk. "How's Avril?" tanya Niall, dia memang sangat khawatir – siapa yang tidak khawatir dengan Avril saat ini?

"Awful, she's losing so much blood but I wasn't really late. The doctor estimated she took her life about 30 minutes before the ambulance arrived. The tear on her wrist isn't really deep, it was about 1,5 cm and only tear her veins, but still, it made the scratched and scored so much blood. Actually, the doctor thought that Avril won't necessarily survive in her coma."

Mendengar itu, Niall langsung tercengang. Niall sama sekali tidak mengekspetasikan hal ini terjadi, sungguh. Perasaan 5 jam yang lalu mereka sempat berbincang dan Niall masih dapat mendengar suara tawa Avril. Astaga, Avril menyembunyikan kesedihannya dari Niall.

[2] not so fangirl ;; 1dTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang