Di pagi hari.
Aku bersiap siap untuk pergi ke bandara bersama Ayahku. Hari ini kami akan pindah ke Bradford, Inggris, entah untuk alasan apa. Ayah berkata bahwa kita akan tinggal di rumah teman lamanya.
"Ayah?"
"Ya, Alice?"
"Sekarang sudah pukul 9.30 sebaiknya kita bergerak cepat." Ucapku yang dibalas oleh sebuah anggukan. Dia beranjak ke kamarnya untuk mengambil beberapa koper.
"Taksi akan sampai 5 menit lagi."
Aku mengangguk.
Oh ya, jika kau bertanya dimana Ibuku, dia telah tiada. Dia sempat mengalami kecelakaan pesawat saat hendak pulang dari Australia. Sebab itu aku hanya tinggal berdua dengan Ayahku. Menyedihkan, bukan? Ya, sangat. Walau sebenarnya aku benci mengenang masa tragis itu, tetapi apalah yang sudah terjadi biarlah terjadi.
Kembali ke kesibukanku.
Aku teringat bahwa ada satu barang yang tertinggal di kamarku. Aku pun langsung berlari ke lantai atas dan memasuki kamar.
Aku membuka laci dan mengambil sebuah kotak kecil berwarna merah. Saat aku hendak membuka kotak kecil itu, Ayah memanggil.
"Aliceeee! Taksi sudah datang. Cepat!"
"Baik, Ayah! Sebentar lagi!"
Aku pun kembali menutup kotak kecil itu dan membawanya ke lantai bawah. Aku segera mengangkut barang barangku ke bagasi taksi dengan dibantu oleh supir taksi itu. Aku dan Ayah langsung memasukki taksi itu dan berangkat ke bandara.
Sesampainya di bandara, kami menunggu kurang lebih sekitar 20 menit sampai akhirnya jadwal pesawat kami diumumkan. Dengan segera, kami beranjak dari tempat kami menunggu dan masuk ke dalam pesawat sebelum pesawat yang kami tumpangi akan lepas landas.
"Mohon perhatiannya, pesawat dengan kode CA124DM yang bertujuan Bradford, Inggris akan segera lepas landas. Jaga keselamatan anda dan nikmatilah perjalanannya. Terima kasih."
Lalu sang pramugari mengajarkan kami beberapa tindakan darurat apabila pesawat mengalami kecelakaan. Setelah itu, pesawat pun lepas landas.
Setelah penerbangan yang cukup memakan banyak waktu, akhirnya kami sampai di Bradford. Ada tulisan Leeds Bradford International Airport yang tertera di gedung bandara tersebut.
Aku menghela nafas berat dan mencoba menyesuaikan diri di tempat baru ini. Ini adalah saat saat yang berat bagiku karena harus memulai hidup di tempat yang masih terasa asing juga bagiku.
Aku mengikuti langkah Ayahku di sepanjang bandara. Ternyata udara di Bradford terasa sangat sejuk atau mungkin aku yang baru merasakan sejuknya udara disini. Karena aku sedikit merasakan perbedaan Bradford dengan Canada, tempat dimana aku dilahirkan. Tapi mengingat inilah permintaan Ayahku untuk pindah ketempat yang baru dan meninggalkan bekas-bekas luka yang tersimpan di Canada, maka aku menurut.
"Ayah akan menghubungi teman Ayah dulu sebentar. Tunggu disini dan jangan menghilang, ya."
Aku mengangguk dan membuka ransel dipunggungku untuk mengambil ponsel yang selama beberapa jam tidak kusentuh. Ada missed call dari Alexandra. Aku pun segera menelfonnya.
"ALEXANDRA!"
"ALICE! How was your flight?"
"Nothing special. Well, how was your day?"
"Great. Jangan lupa untuk terus berikan kabar, little-poo."
"Bisakah kau berhenti memanggilku dengan sebutan itu? Kau tahu betul apa maksudku, big-damn-poo."
"Chill, it was just a joke. Bukankah itu pernah menjadi sebutan favorite-mu?"
"Stop it. Kita lanjutkan nanti. Ada sesuatu yang harus kulakukan."
"Baiklah, sampai jumpa."
Aku segera memutuskan sambungan dan langsung menyadari keberadaan Ayah. Kurasa dia sudah selesai menghubungi Yaser, temannya.
"Anaknya Yaser yang akan menjemput kita disini."
"Baiklah."
Kami pun menunggu kemunculan anaknya Yaser di kawasan bandara. Lama sekali. Tak lama kemudian, ada yang menyentuh pundakku.
"Ada apa, Ayah? Butuh sesuatu?" Responku tanpa memalingkan pandangan dari ponsel.
"Ada apa, Alice? Ayah tidak memanggilmu."
Aku terkejut. Ternyata bukan ayah yang menyentuh pundakku. Aku sontak melihat ke belakang. Seorang lelaki berparas campuran Inggris - Pakistan sedang menatapku sambil mencondongkan badannya.
"Alice Madelainne?"
Lelaki itu bertanya kepadaku?
"Ya?"
"Apakah kau anaknya Yaser?" Selak Ayah ditengah percakapanku dengan lelaki itu.
"Ya. Ayah menyuruhku untuk menjemput kalian. Mari ikut."
Lelaki itu sembari mengajak kami. Kami pun mengikutinya hingga ke parkiran. Dia mempersilahkan kami masuk ke mobilnya.
"Oh ya, namaku Zayn Malik. Kalian bisa memanggilku Zayn."
"Senang bertemu denganmu, Zayn."
Selama perjalanan, hanya ada suara dari radio yang terdengar. Sangat sunyi. Sampai akhirnya kami tiba disebuah rumah yang tergolong mewah.
Halaman rumahnya sangat luas dan sejuk. Aku rasa aku akan senang jika tinggal berlama lama disini. Ya, aku rasa.
Zayn berjalan memasukki rumah tersebut beserta aku dan Ayah yang membuntutinya. Aku melihat sosok pria paruh baya yang sedang membaca koran sambil menikmati kopi panas. Dia memalingkan pandangannya ke arah kami.
"Jordan?"
"Yaser! Sudah berapa lama kita tidak bertemu, kawan?"
"Saat tinggiku masih dibawahmu, mungkin? But look at us now."
"Ah, aku jadi teringat masa lalu."
Aku hanya bisa tersenyum memandangi mereka berbincang satu sama lain. Sedangkan Zayn berjalan ke lantai atas. Sampai akhirnya Ayah memanggilku.
"Yaser, ini anak tunggalku namanya Alice."
"Parasnya sangat khas. Wajahnya sangat manis. Tak menyesal aku-"
"Yaser."
"Ah, maksudku, semoga kau nyaman dengan keluarga kami, Alice."
-1-
KAMU SEDANG MEMBACA
Fight The Pain [Editing]
FanfictionSesuatu telah merubah kehidupan Alice. Awalnya ia hanyalah gadis biasa yang gemar menonton acara di balik layar tv. Namun setelah kepindahan dengan Ayahnya ke Bradford dan tinggal satu atap dengan keluarga Malik, kehidupannya seakan-akan berputar di...