8. Berhenti?

6.7K 480 93
                                    

~GAC - Berhenti~









🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆


Malam semakin larut, tapi Caca malah nyasar di sebuah cafe yang memang buka 24 jam. Cafe yang hampir bisa dikategorikan sebagai club malam karena penuh dengan orang-orang bejat. Banyak yang menawarinya minum, tapi tak ada yang bisa dipercaya. Caca hanya ingin tetap waras, dia hanya tak mau menyesal nantinya.

Beruntung seorang perempuan, pemilik cafe itu mau menyediakan ruangan tersendiri untuk Caca dan membiarkan Caca beristirahat di sana. Caca ingin menangis, tapi entah kenapa air mata itu tertahan. Dia terlalu sakit hati pada Senja, dan sahabatnya, Anya.

Ponselnya sengaja dia matikan, dia hanya butuh menenangkan pikirannya. Terkadang dia terlalu gegabah membuat keputusan, dan sekarang dia tak mau melakukan kesalahan yang sama. Dia cemburu, tapi rasanya terlalu egois jika dia memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan perasaan Anya.

Ketukan di pintu membuat Caca menoleh dengan cepat ke arah pintu kayu bercat cokelat itu. Di sana, di ambang pintu, perempuan cantik bernama Laura berdiri dengan gurat kelelahan di wajahnya.

"Kamu masih mau di sini? Atau mau menginap saja?" tanya Laura pada Caca.

"Nggak usah terlalu formal, panggil Caca aja," ucap Caca sambil tersenyum ke arah Laura.

Laura melemparkan senyum balasan dan berjalan mendekati Caca. "Lo lagi ada masalah apa sih sampai bisa nyasar ke tempat nista ini?"

Caca merengut dan membaringkan tubuh lelahnya ke ranjang. "Sakit nggak sih kalo sahabat kita minta dinikahi sama pacar kita sendiri? Padahal alasannya karena si cewek takut hamil, rasanya nggak adil banget kan kalo pacar kita nikah sama cewek itu untuk mempertanggungjawabkan kesalahan orang lain? Dia pernah bilang sama gue, kalo dia nggak suka yang bekas, makanya gue jaga bener-bener harta gue. Menurut lo Ra, dia bakal tetep nikah sama cewek itu atau nolak?" tanya Caca sambil menolehkan kepalanya ke arah Laura.

"Entahlah..."

"Ra, jawab yang bener dong!" Caca kurang puas mendengar jawaban Laura, dia ingin dapat saran dari orang lain. Ingin tau dari sudut pandang orang lain, makanya dia berani mengungkapkan isi hatinya pada Laura yang notabene tak dikenalnya sama sekali.

Laura tersenyum sedih ke arah Caca, "sakit sih, tapi gue nggak bisa apa-apa. Pacar gue nikah sama sahabat gue sendiri, dan itu karena sahabat gue hamil anak pacar gue. Kaya gitu udah biasa kali Ca, kita nggak akan tau gimana takdir Tuhan. Kalo masalah gue ini sih gue yakin mereka memang udah ditakdirkan untuk bersama, walau berawal dari sebuah kesalahan. Dan gue menerima itu dengan lapang dada, walau prosesnya nggak sebentar. Kalo masalah lo, menurut gue sih sahabat lo aja yang nggak tau diri, tapi stay cool Ca! Semua udah ada yang ngatur."

Caca terdiam mendengar ucapan Laura, yah semuanya akan baik-baik saja. Kalau memang Senja bukan jodohnya, pasti akan ada orang lain yang lebih baik. Mulai saat ini yang harus dia lakukan adalah pasrah, jika memang sudah jalannya, ikuti saja takdir yang ada.

"Gue pulang aja deh Ra, btw makasih udah boleh nenangin diri di sini. Kapan-kapan gue ke sini lagi, dan lo jangan bosen-bosen nampung gue di sini, mungkin gue akan sering lari ke sini," ucap Caca sambil tersenyum.

Laura mengangguk membalas senyum Caca. Setelah itu, Caca keluar dari ruangan itu dan berniat pulang ke rumah. Di depan cafe, Caca menyalakan kembali ponselnya, dan langsung dibanjiri notification. Hampir ada 50 pesan dari Senja, dan beberapa dari mamanya. Banyak juga telepon dari Senja, tapi satu yang membuat Caca mengernyitkan keningnya. Satu telepon dari Dave, dan belum lama.

Bad TemperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang