Exchap I

8.1K 405 32
                                    

Poor Senja


° ° ° ° °
Senja membiarkan dua orang yang paling dicintainya itu berbagi tubuhnya untuk dijadikan bantal. Tangan kanannya membantali kepala Caca yang tertidur di samping kanannya, sedangkan putrinya berbaring menelungkup di atas tubuhnya.

Pemandangan menarik untuk Senja yang sejak tadi tak bisa tidur. Sesekali dia tertawa sendiri melihat bibir mungil anaknya yang bergerak-gerak, atau tersenyum sayang saat Caca bergerak mendekatkan kepalanya lebih dekat ke arah Senja, mencari posisi nyamannya.

Jika tidak karena Dokter Anjani, Senja mungkin tak merasa bahagia seperti saat ini. Senja berterima kasih kepada Dokter Anjani, karena dia yang tidak sengaja menceritakan tentang kehidupan pasiennya yang bernama Raisa Inara Putri pada Senja saat mereka makan siang di kantin rumah sakit tadi, jadinya Senja tau jika Caca hamil lagi.

Dan dia merelakan wajah, juga perutnya kena bogem dokter perempuan itu. Dokter Anjani menceramahinya banyak hal, dan memarahinya sampai Senja lupa sendiri apa yang sudah dikatakan oleh Dokter Anjani.

Satu hal yang sepertinya perlu dia pelajari dari Aden, romantis, dan peka. Aden itu orang paling peka menurut Senja, Aden juga romantis dengan caranya sendiri.

Ngomong-ngomong soal Aden, Senja jadi lupa tak menanyakan bagaimana kehidupan Aden. Dia jadi penasaran sekarang, bagaimana lima tahun kehidupan Aden tanpa dirinya? Apakah masih sesulit dulu, atau lebih mudah? Senja akan tanyakan itu nanti jika dia bertemu dengan Aden.

Untuk sekarang dia ingin menikmati weekend bersama keluarga kecilnya. Dia sudah izin dua hari dan ternyata banyak hari liburnya yang dia buang sia-sia. Senja baru sadar jika dia bekerja tak tau waktu, sampai-sampai melupakan di rumah dia punya Caca dan Ara yang menunggunya.

Senja menoleh ke arah Caca, sedikit menggeser Caca lebih dekat dengan tangan kanannya dan memberikan kecupan sayang di kening Caca.

“Pagi...” ucap Caca dengan suara seraknya.

Senja menahan tawanya agar tidak meledak, ini sudah sore, bukannya pagi lagi.

“Bangun sayang,” Senja memberikan lebih banyak lagi kecupan di wajah Caca.
Caca menggeliatkan badannya dan perlahan kelopak mata berbulu mata lentik itu membuka. Tak lama sebuah senyuman teramat manis terukir di bibir Caca, Senja membalasnya dengan senyum pengertiannya.

“Sekarang jam berapa?” tanya Caca dan mencoba untuk bangun. Senja menahan Caca agar tetap di tempatnya dan memeluk Caca dengan sebelah tangannya. “Baru jam tiga Ca,” jawab Senja.

“Tiga pagi?”

“Bukan. Tiga sore,”

“Apa?”

Senja hanya mengulum senyumnya menahan tawanya agar tidak meledak. Ekspresi Caca dengan muka bantalnya ternyata begitu menggemaskan, Senja jadi menyesal karena selalu melewatkan waktu-waktu melihat Caca bangun di pagi hari.

Senja membiarkan Caca mengambil ponsel miliknya di nakas dan memastikan benar atau tidaknya sekarang jam tiga sore. Senja mengeratkan tangan kirinya pada punggung mungil Ara yang masih nyenyak tertidur di atas tubuhnya. Dia menarik kepala Caca agar tidur lagi setelah Caca menaruh ponselnya.

Caca menelusupkan kepalanya ke lekukan leher Senja dan memeluk Senja, juga Ara dari samping. Walau posisinya sedikit aneh, tapi Caca membiarkannya.

“Besok ke rumah sakit ya,” celetuk Senja tiba-tiba. 

Caca tak menjawab, tampaknya enggan membahas segala macam tentang rumah sakit saat ini.

“Konsultasi sama Dokter Anjani masalah kehamilan kamu Ca, aku mau ikut,” tambah Senja, tapi Caca tetap tak mau menjawab.

Bad TemperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang