1. Davi bilang ia ingin mati

31.5K 1.6K 76
                                    

Meski bau rumah sakit masuk kedalam daftar hal-hal yang paling ia tak sukai, namun Deva masih mau menginjakan kakinya di tempat bernuansa putih ini. Ya, kalau bukan adik kembarnya yang mendadak tumbang ketika pertandingan basket berlangsung, mungkin Deva tak akan mau berada di tempat ini.

Lelaki yang sedang mengenakan jaket parasut berlambangkan tim basket sekolahnya itupun pun mendorong pintu kayu bercat putih itu dengan sikutnya. Kedua tangannya di penuhin oleh 2 buah cangkir kopi hangat yang di bawanya.

"Menang?" Kalimat itulah yang langsung di ucapkan Davi adik kembarnya yang kelahirannya hanya berselang 5 menit setelah Deva di lahirkan. Di tanya seperti itupun, Deva hanya mengangkat bahunya acuh, kemudian menjawab "kalah."

Wajah lesu langsung terpampang di wajah pucat Davi yang terbaring di atas kasur rumah sakit. Di tangan kanannya terpasang selang infus yang membuat anak itu tidak nyaman bergerak. Deva pun meletakkan salah satu kopinya di atas nakas kemudian menarik bangku besi yang berada di samping tempat tidur Davi.

"Gak usah sok sedih gitu." Di pukulnya pelan bahu Davi dengan santai. Membuat anak itu kembali menoleh ke arah kembarannya.

"Kok bisa? Gara-gara gue lagi?" Tanyanya yang sebenarnya malas Deva tanggapi. Namun kalau tidak menerima jawaban, Davi pasti akan bertanya terus hingga mendapatkan jawaban yang pasti.

"Bukan, gara-gara gue. Gak konsen liat lo pingsan." Ucapnya sambil meniup-niup kopi di tangannya, kemudian menyesapnya perlahan.

"Ya sama aja dong, lo gak konsen gara-gara gue." Kali ini wajah Davi terlihat kesal. Namun ia bukan kesal dengan Deva ataupun dengan tim basket sekolahnya, melainkan kesal dengan dirinya sendiri yang sudah membuat tim basket sekolahnya kalah.

Sudah sejak lama Davi di larang keras untuk melakukan olahraga apapun yang membuat dirinya lelah. Daya tahan Davi memang tak sekuat Deva kembarannya.

Banyak orang yang bilang kalau sepasang anak kembar, pasti salah satunya tidak sempurna. Mungkin itulah yang di alami oleh Davi dan Deva. Sejak kecil Davi di Vonis leukimia. Tubuhnya lemah terhadap apapun.

Namun yang membuatnya dapat bertahan hingga saat ini karen Deva yang selalu menjaganya. Memberikan sumsum tulang belakangnya kepada Davi setiap kali di butuhkan. Deva selalu rela melakukan apapun untuk Davi. Meski dirinya harus merasakan sakit akibat efek samping dari donor yang kerap kali ia berikan. Namun Deva tak penah mengeluh sedikitpun.

"Udah gak usah di pikirin. Sekolah kita udah kebanyakan piala. Kasian kepala sekolah isi ruangannya penuh sama piala kalo kita menang." Seru Deva mencoba menghibur adiknya itu.

Davi pun menyengir lebar, lalu matanya tertuju pada cup kopi yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya. "Lo beli dua? Buat gue?" Baru saja Davi menjulurkan tangannya untuk meraih cup kopi itu, namun niatnya langsung di gagalkan oleh Deva.

"Buat Om Juan."

Mendengar nama dari adik laki-laki mamanya itu di sebut, Davi pun langsung menepuk keningnya pelan. Pasti Om Juan akan mengomelinya habis-habisan, karena telah seenaknya masuk kedalam tim dan mengikuti pertandingan.

Om sekaligus pelatih basketnya itu sudah melarang Davi untuk ikut pertandingan karena memang kondisi anak itu sedang menurun sejak kemarin. Namun Davi memaksa Deva untuk bertukar posisi dan bertukar peran. Hingga anak itupun akhirnya tumbang saat pertandingan.

"Mati gue Dev! Om Juan pasti bunuh gue nih. Sekarang dia lagi dimana?"

"Di administrasi, ngurusin pembayaran."

"Aduh mampus gue harus ngapain nih? Pura-pura mati guna gak ya? Aduh." Deva mendengus memandangi adik yang memiliki wajah yang menyerupai dirinya itu bergerak-gerak tidak bisa diam di atas tempat tidurnya. Sama sekali tidak memperdulikan selang infus yang terpasang di tangan kananya.

Belum lama setelah mereka membicarakan adik Mamanya itu, orang yang sedari tadi di bicarakan pun akhirnya datang. Membuka pintu dengan raut wajah kesal bercampur cemasnya mendekati Davi yang melirik Deva meminta bantuan. Namun Deva sendiri tak tau harus berbuat apa.

Tanpa aba-aba Om Juan pun langsung menjewer telinga Davi tanpa ampun, "bagus ya kamu Davi, pakai pura-pura jadi Deva." Ucapnya.

"Dan kamu Deva," tiba-tiba tangan kanan Om Juan yang bebas pun bergerak menjewer telingan Deva sama kerasnya dengan ia menjewer telinga Davi, "mau aja bantuin sodara kamu ini."

Kedua anak kemabar itu meringis sakit, hingga akhirnya Om Juan pun melepaskan tangannya.

Di tatapnya kedua anak itu dengan mata elangnya, "sekali lagi ada yang kaya gini keulang. Om keluarin kalian berdua dari tim." Ucap Juan dengan tegas. Membuat si kembar langsung berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Karena mereka tau kalau Omnya itu pasti bersungguh-sungguh.

"Yaudah kamu istirahat Davi." Perintah Juan.

"Aku kan baru sadar Om, bosen tidur mulu." Bantah anak itu yang membuat Juan geleng-geleng kepala.

Melihat Davi dan Deva mungkin secara fisik mereka benar-benar mirip, namun secara sifat benar-benar berbeda. Davi yang mudah jatuh sakit itu justru lebih hiperaktif dari pada Deva. Sedangkan Deva? Anak itu malah lebih cenderung pendiam. Jadi menjaga Davi benar-benar hal yang sangat sulit untuk Juan.

Orang tua si kembar sibuk bekerja. Hampir 24jam tak ada waktu untuk mereka. Semua itu mereka lakukan bukan karena tidak sayang dengan si Kembar. Melainkan demi kebaikan Deva dan Davi sendiri. Biaya pengobatan Davi yang tidak murah itu membuat orang tuanya tidak bisa berhenti bekerja begitu saja. Kadang itulah yang membuat Davi sering merasa bersalah.

"Om mau pulang dulu buat ambil baju ganti buat Davi. Kamu gak apa-apa kan jagain dia sebentar?" Ucap Om Juan yang di balas dengan anggukan kepala oleh Deva.

Selepas perginya Om Juan meninggalkan ruang inap bernomor 256 itu, Deva pun merebahkan tubuhnya di atas sofa yang tidak jauh dari ranjang Davi. Ruang inap yang VIP itu membuat Deva bebas melakukan apa saja di dalam sana, tanpa harus memikirkan orang lain, karena hanya ada Davi yang di rawat di ruang itu.

"Dev." Panggilan Davi langsung membuat Deva menoleh ke arahnya.

"Mau mati aja." Ucap Davi yang seperti sudah di hafal di luar kepala oleh Deva. Memang kalau sudah sakit seperti ini, ucapan Davi suka melantur kemana-mana. Berbeda kalau ia sedang sehat, pasti anak itu tidak peduli dengan kondisi kesehatannya sendiri. Deva pun sudah sangat bosan menasehatinya.

"Gih mati." Itulah kata-kata andalan yang biasanya Deva keluarkan kalau sudah tak tau lagi caranya menasehati Davi.

"Lo bakal kangen gue gak?" Pertanyaan itu juga sudah di hafalnya di luar kepala. Bahkan Deva tau betul apa yang akan di katakan Davi selanjutnya.

"Kalo lo kangen, gue gak jadi mati." Tepat seperti apa yang ada di pikiran Deva.

"Pasti. Gue pasti kangen sama lo Dav." Deva pun mengatakannya sambil menatap Davi yang tersenyum samar, kemudian perlahan-lahan terlelap dalam tidurnya.

***

P.s iya gue publish ulang. Dimohon yg gak suka remove aja ini cerita dari library anda. Okay?

The Other HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang