"Bentar Dev."
Setelah merengek habis-habisan meminta Deva untuk mengizinkannya pergi ke sekolah. Akhirnya kembarannya itupun luluh juga dan mengizinkan. Dengan satu syarat, kapanpun Davi merasa badannya akan ambruk, anak itu harus berkata jujur. Dan tak boleh membantah kalau di ajak pergi ke UKS. Namun belom juga mereka keluar dari dalam mobil. Tiba-tiba Davi sudah pucat pasi sambil memijit keningnya.
"Tuh kan, lo sih maksa banget. Sakit tuh istirahat. Udah kita pulang aja." Deva pun langsung mengambil ancang-ancang untuk melajukan mobilnya keluar dari gerbang sekolah. Namun niatnya itu langsung di cegah oleh Davi.
"Gak.. Gak. Gue gak apa-apa. Gak usah lebay bisa gak sih?!" Tanpa memperdulikan Deva yang sudah ikutan pucat karena cemas. Anak itu justru membuka pintu mobil, kemudian berjalan menuju kelasnya meninggalkan Deva.
Melihat adiknya itu pergi begitu saja, Deva pun langsung menghela napas. Pasti Davi ngambek lagi, pikirnya dalam hati. Lelaki itupun lantas mematikan mesin mobilnya dan segera berlari menyusul Davi. Dari cara berjalannya, Deva sendiri tau kalau Davi belum baik-baik saja. Tapi anak itu selalu memaksa untuk masuk sekolah. Entah apa yang di carinya di sekolah, anak itu seperti cinta sekali dengan sekolahnya ini.
"Dav, udah jangan ngambek." Rayunya tidak di hiraukan oleh Davi yang masih saja berjalan, bahkan langkahnya semakin cepat berusaha menghindari Deva. Namun percuma saja, secepat apapun Davi berjalan, pasti Deva akan dengan mudah menyamai langkahnya, bahkan ketika Davi berlari sekencang mungkin.
"Iya okey, maaf." Kali ini ucapannya berhasil membuat Davi menoleh. "Gue maafin kalo lo berhenti ngikutin gue." Ucapnya yang langsung membuat Deva berhenti melangkah.
"Lo tau kan Dav, kita sekelas. Percuma aja gue gak ngikutin lo. Nanti juga ketemu." Ujar Deva dengan polosnya membuat Davi jadi merasa bodoh dan mengemburkan tawanya untuk menertawakan dirinya sendiri. Sejujurnya, tadi Davi hanya bercanda. Ia tidak menyangka kalau Deva akan menganggapnya serius.
Melihat Davi tertawa, lantas membuat kakak laki-lakinya itu memutar bola matanya. Kemudian berlari mendekati Davi yang masih saja tertawa. "Puas lo?" Sahutnya sambil meninju pelan lengan Davi.
"Davi!" Medengar suara yang begitu di kenalinya itu, Davi pun langsung berhenti tertawa dan menoleh ke asal suara. Di lihatnya Bianca dengan raut wajah kesalnya berjalan mendekati mereka berdua.
"Kok lo ada di sini sih?" Tanyanya sambil menyentuh-nyentuk kepala Davi dengan jari telunjuknya.
"Ya kan gue sekolah di sini Baby." Mendengar panggilan itu, Bianca pun memutar bola matanya. Ia ingin memaki-maki kekasihnya itu, tapi ia sedang malas untuk bertengkar. "Lo di suruh istirahat seminggu Davi. Sekali aja nurut bisa gak sih?"
Davi terhenyak di tempatnya. Kalau banyak lelaki yang senang di perhatikan pacarnya seperti ini. Davi justru tidak. Kenapa? Karena ia paling tidak suka di perlakukan seperti orang sakit. Meskipun kenyataannya ia memang sakit.
"Im okay." Hanya itu yang ia katakan sebelum akhirnya lelaki itu berbelok masuk kedalam kelas. Di susul Bianca yang masih mengoceh panjang di belakangnya.
Deva sendiri hanya dapat menghela nafas melihat sepasang kekasih unik seperti Davi dan Bianca. Romantis tidak, seperti musuh juga tidak. Meskipun begitu setidaknya hubungan Davi lebih baik dari pada hubungannya dengan Revanya. Lebih dari 2 tahun mereka dekat, sikap mereka pun seperti sepasang kekasih. Dimana ada Revanya di situ ada Deva. Tapi di antara mereka tidak ada yang menggibarkan bendera tanda suka.
Panjang umur. Baru saja Deva memikirkan tentang Revanya, gadis yang sejak tadi bersarang di pikirannya pun berjalan kearahnya sambil berbicara dengan sahabatnya, Risya.
Mulut Revanya terbuka, ia tertawa. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Deva tidak bisa mendengar jelas dari tempatnya berdiri. Namun begitu sepasang mata hazel itu beradu dengan matanya, Revanya pun mengganti tawanya menjadi senyuman dan juga melambaikan tangan kepadanya. Sebelum gadis itu berbelok memasuk kelasnya yang berada di samping kelas Deva.
Membuat Deva ikut tersenyum.
***
Lelaki itu baru sadar dirinya menyedihkan begitu melihat kembarannya sedang duduk di atas kasur bersandar pada dinding, di temani oleh kekasihnya yang duduk di pinggir ranjang. Mereka tertawa, terlihat sekali kalau mereka bahagia. Seolah tidak ada jarak, sesekali si lelaki mencubit pipi perempuannya yang di balas dengan pukulan pelan di dada si lelaki.
Deva menghembuskan napas. Baru kali ini ia merasa iri dengan Davi. 15 menit yang lalu Deva terkilir saat sedang bermain futsal di lapangan. Semua orang panik karena ringisan Deva terdengar memilukan. Setidaknya semua orang, kecuali Revanya. Gadis itu memang tak ada di lapangan, tapi mengingat di sekolah mereka gosip sangat mudah beredar, rasa-rasanya mustahil kalau gadis itu tidak tau.
Namun lihatlah, gadis itu sama sekali tak menampakan batang hidungnya di hadapan Deva. Lelaki itu memang sedih, sedikit kecewa karena ia kira hubungannya cukup spesial dengan Revanya, namun apa mau dikata. Nampaknya mereka hanya sekedar teman. Mungkin begitulah yang Revanya rasakan.
Sejenak Deva melamun, lelaki itu tidak menyadari kalau 2 orang yang berada di tempat tidur samping memperhatikannya. Dari raut wajah Deva, Davi dan Bianca sudah dapat menyimpulkan kalau lelaki itu sedang sedih.
"Dev." Suara Bianca akhirnya membangunkan Deva dari lamunannya.
"Gue denger kelas sebelah lagi ulangan. Dia gak bisa keluar." Ucapnya berusaha menghibur Deva.
Ucapan Bianca lantas membuat tali yang mengikat dadanya kuat, mulai berkurang satu. Setidaknya ia punya alasan untuk membuat hatinya berspekulasi, agar tidak sakit. Namun Deva lantas menggelangkan kepala, berusaha menyembunyikan apa yang ia rasa, "apaan sih? Kenapa ngomongin kelas sebelah?"
Bianca mengangkat bahunya acuh, "Mungkin lo mau tau."
Deva pun tersenyum, ralat, ia memaksakan senyuman di bibirnya. "Gak penting gue tau." Ucapnya kemudian membuang muka.
"Gak penting gue tau." Davi mengulangi ucapan Deva dengan nada yang mengejek.
Kembarannya itupun langsung melempar Davi dengan bantal putih yang sejak tadi berganti fungsi sebagai penyanggah kaki Deva yang terkilir. Gerakan itu refleks begitu saja, hingga akhirnya Deva menyadari kalau kakinya berdenyut nyeri.
"Aah! Aahh! Anjing.. Anjing.. Sakit! Balikin bantalnya buruan!"
Davi pun tak bisa membendung tawanya melihat Deva kesakitan karena perbuatannya sendiri. Sedangkan Bianca langsung memberikan kembali bantal Deva dan membantu lelaki itu memposisikan kakinya.
"Lo! Malah ketawa. Ade macem apa lo." Omel Bianca yang ngeri melihat kaki Deva, namun kekasihnya malah tertawa dengan puas.
"Lagian kelakuannya haha. Sakit tuh diem-diem aja Dev." Deva pun memutar matanya, biasanya ia yang mengatakan hal itu kepada Davi.
Bianca menarik bangku dan duduk di antara kedua matras yang Deva dan Davi tempati. "Pulang aja deh kalian berdua ya. Dua-duanya sakit begini. Gue yang nyetir deh mobil." Ucapnya.
"Gue masih bisa nyetir Bi. Lagian lo kan bawa motor. Masa lo nanti balik lagi ke sekolah sendirian. Gue gak izinin." Ucap Davi penuh keseriusan di dalamnya.
"Biar gue aja." Seluruh mata pun memandang keasal suara. Tepat di pintu masuk UKS.
**
Baru sadar Davi sakit mulu yak ekwkwk😂
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Ficção AdolescenteIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan