Hampir seminggu ini kerjaan Davi hanya tidur dan tidur. Entah mengapa tubuhnya terasa begitu lemas di setiap harinya seperti habis berlari marathon padahal tidak ada yang ia lakukan sama sekali dan satu-satunya yang ia ingin lakukan hanya memejamkan matanya dan tertidur.
Sudah hampir setiap malam Davi tidur bersama Deva. Mama dan Papanya memutuskan untuk menetap lebih lama. Entah apa alasannya, mungkin karena Davi sekarat?
Sejak kejadian hari itu, ayahnya jadi berbeda. Ia sering menemani Davi saat anak itu menonton tv di bawah. Atau membantu Davi berjalan setelah anak itu muntah-muntah dan lemas. Ginandi yang kadang menyiapkan obat-obatan Davi saar Deva sedang tak berada di rumah. Meski awalnya canggung. Lama-lama Davi terbiasa juga dengan keberadaan ayahnya yang berubah drastis.
"Dav, udah bangun?" Suara Deva yang berasal dari pintu kamar itupun membuat Davi menoleh. Menunjukan pada kembarannya kalau ia sudah bangun.
Deva pun berjalan masuk, duduk di atas kasur. Sementara Davi memposisikan tubuhnya duduk. "Dari mana?"
"Rumah Thalita." Tentu Davi sudah mengetahui soal Thalita. Gadis itu bahkan sempat berbicara padanya. Thalita meminta Davi untuk tak memikirkan kematian dan berusaha untuk menghabiskan waktu yang ada bersama keluarga dan kekasihnya lebih banyak.
Thalita bilang, mungkin Davi memang takut untuk memberikan rasa nyaman yang lebih kepada orang-orang, sehingga takut meninggalkan kepedihan yang amat sangat setika ia pergi. Namun Thalita langsung menyanggah semuanya, ia bilang orang-orang yang akan di tinggalkannya butuh kenangan. Butuh kenangan agar nantinya tidak menyesal. Butuh waktu sebanyak-banyaknya bersama Davi sebelum waktu itu habis.
Davi mengerti. Namun kondisinya yang kadang tidak memungkinkan itulah yang membuatnya kadang sulit untuk pergi kemana-mana dan melakukan apapun.
"Apa kabar Thalita?" Tanya Davi.
"Baik dan Lebih hidup dari sebelumnya. Berkat ketemu lo." Jawab Deva mengusap-usap lengan Davi lembut.
Davi pun tersenyum, "Harusnya gue yang bilang begitu." Katanya.
Terjadi keheningan untuk beberapa menit. Deva melemparkan pandangannya memandangi jendela kamarnya yang besar dan menatap langit luas yang saat itu sedang mendung, sedikit bersyukur karena ia sudah sampai rumah.
Deva menaikan kakinya keatas kasur melipat sebelah kakinya di depan dada dan meletakan tangan kirinya di atas lutut sambil mengelus pelipisnya yang jengah. Semakin hari ketakutan Deva semakin menjadi-jadi. Meski sudah berjanji, namun lelaki itu tetap belum bisa kehilangan Davi. Dan melihat kondisi anak itu yang semakin hari semakin menurun. Membuat Deva ketakutan setengah mati. Sebisa mungkin ia selalu memberikan waktunya untuk berada di dekat Davi. Meski tak ada yang di lakukan seperti sekarang contohnya.
"Dev." Deva menoleh kearah Davi yang sedang memainkan jemarinya yang saling bertautan. "Kalo gue mau tunangan sama Bianca, gimana menurut lo?"
Deva langsung membulatkan matanya terkejut. Namun beberapa detik kemudian Deva langsung menoleh kearah kolong tempat tidur seperti mencari sesuatu. Tentu saja Davi yang melihatnya langsung mengerutkan kening, "Lo ngapain sih?" Tanyanya.
"Nyari otak lo, siapa tau jatoh." Bercanda Deva yang langsung di hadiahi lemparan bantal dari kembarannya. "Apaan dah." Serunya.
"Lagi lo ngomong kaya gak ngotak. Lo pengen tunangan kaya pengen main petak umpet. Lo pikir gampang. Tunangan tuh artinya kalian berdua bakalan terikat satu sama lain, bukan kaya pacaran yang bisa putus nyambung."
"Ya gue tau." Jawab Davi sambil menatap Deva dengan lekat seolah mau menunjukan kalau ia benar-benar serius. "Gue sebenernya mau nikahin dia tapi itu gak mungkin kan. gue gak mau ninggalin dia pas status kita udah menikah. Jadi gue pikir mungkin kita bisa tunangan aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan