Hari ini langit teringat begitu cerah setelah semalaman hujan turun dengan derasnya. Sisa-sisa hawa dingin masih memeluk bumi dengan erat. Davi sampai mengenakan Jaket tertebal yang ia punya. Dingin serasa menggigit tubuhnya yang memang tak bisa terkena hawa dingin.
Davi kembali menarik selimutnya, baru kali ini ia merasa malas masuk sekolah. Kalau saja tidak sedingin ini. Mungkin Davi sudah bergegas mandi dan memakai seragamnya. Namun boro-boro untuk mandi, barang menginjak lantai saja Davi enggan.
Lelaki itupun melirik jam yang berada telat di atas nakasnya, sudah hampir jam 7. Namun Deva belum juga menggesor-gedor pintu kamar Davi untuk membangunkannya. Apa Deva belum bangun? Atau memang ia ikut-ikutan malas kesekolah?
Davi pun menggerakan tangannya, kemudian menarik laci nakas di sampingnya. Mencoba mencari kaus kaki. Ketika mendapatkannya. Davi pun langung mengenakannya. Rasa nyaman dan hangat pun mulai menjalar di tubuhnya. Akhirnya ia memaksakan dirinya untuk bangun. Ia penasaran kenapa Deva belum juga menampakkan batang hidungnya.
Di langkahkan kakinya menuju kamar Deva. Bi Ima sedang izin untuk pulang ke kampungnya selama 3 hari. Katanya anaknya sakit. Jadi hanya ada Deva dan Davi di rumah.
"Dev." Ucap Davi sambil mengetuk-ngetuk kamar Deva. Entah kenapa juga ia mengetuk. Biasanya ia langsung masuk saja. "Deva belom bangun?" Ucapnya lagi ketika belum juga mendapatkan jawaban.
"Deva, gue gak mau sekolah." Serunya lagi dengan tangan yang masih terus mengetuk. Dan tak berapa lama suara Deva pun terdengar di telinganya, "Lo kenapa—ah anjir gak bisa bangun." Davi menaikan alisnya bingung mendengar ucapan Deva.
Davi pun langsung membuka pintu kamar Deva yang tak terkunci. Matanya langsung di sambut dengan pemandangan Deva yang pucat dan meringkuk di tempat tidurnya. Ia berusaha bangun, tetapi terus gagal. Apa yang terjadi? Baru kali ini Davi melihat Deva sangat lemah.
"Lo kenapa?" Bukannya Davi yang bertanya, malah Devalah yang berkata sepeti itu. Davi pun memutar matanya dan berjalan mendekati Deva, "harusnya gue yang nanya."
Davi duduk di pinggir tempat tidur Deva dan menaikan kakinya keatas karena tak mau berlama-lama menyentuh lantai yang dingin. "Gue gak apa-apa, jangan deket-deket gue." Deva menendang tubuh Davi agar menjauh dengan pelan karena tenaganya sudah menghilang entah kemana sejak lelaki itu membuka matanya.
Tubuhnya terasa terbakar, hidung dan tenggorokannya terasa tidak enak. Deva flu. Dan karena daya tahan tubuh Davi sangat lemat, Deva tak ingin menularkan virus kepada adiknya itu yang nantinya justru berdampak lebih buruk di tubuh Davi.
Namun Davi enggan pergi, ia malah memposisikan tubuhnya lebih dekat dengan Deva. Tangannya terjulur memegang kening Deva yang ternyata benar-benar panas. "Lo bisa sakit juga ya ternyata." Davi tertawa membuat Deva membuang mukanya.
"Jauh-jauh ah Dav. Entar ketularan." Seru Deva kembali mendorong tubuh Davi.
"Lebay banget, flu doang mah gak masalah." Kata Davi dengan enaknya. Padahal mungkin saja bukan hanya flu yang akan di dapat Davi, lelaki itu bisa saja terkena radang paru-paru karena sistem imunnya tidak dapat melindungi Davi dari virus-virus yang ada.
"Gue minum antibiotik dulu deh biar lo gak parnoan."
Lelaki itu pun langsung berjalan kembali ke kamarnya. Meminum antibiotiknya dan kemudian pergi ke kamar mandi mengambil air untuk mengompres Deva. Bahkan lelaki itu sampai harus membuka kaus kakinya dan merasakan dinginnya air yang menusuk tulang.
Davi tidak peduli. Biasanya Deva yang menjaganya, sekali-kali Davi ingin membalas budi. Menjaga Deva saat lelaki itu sakit. Setelahnya, Davi pun kembali ke kamar Deva. Di celupkannya handuk kecil kedalam air kemudian setelah di peras, Davi meletakkannya di kening Deva.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan