"Fabian belom dateng Bi?"
Bianca pun langsung mendongakan kepalanya, menatap wanita yang tangannya sibuk memasang anting di telinganya sambil berjalan pincang karena hanya mengenakan wedgesnya di sebelah kanan, sementara kaki kirinya tak beralas.
Yang di tanya itupun menggeleng, kembali mendial nomer kekasihnya yang sebenarnya tidak ada guna. Ponsel Fabian tak bisa di hubungi, itupun atas perintah Bianca yang selalu menyuruh lelaki itu mematikan ponselnya ketika menyetir. Fabian adalah orang yang tidak multitasking sama sekali. Ia tak bisa mengerjakan 2 hal sekaligus.
Pernah waktu itu ia mengendarai mobil sambil memakan, ia hampir membuat mobil klasiknya itu menabrak tiang listrik karena tidak bisa fokus menyetir. Yang sangat sering terjadi adalah ketika ia di suruh meletakan cangkir di tempat cuci piring kemudian mengambil air di diapenser. Pasti yang di lakukannya adalah mengambil air dari keran cuci karena tidak fokus. Dan lelaki itu juga pernah hampir membuang ponselnya di tempat sampah ketika ia ingin membuang sampah di tangan kanannya, sementara ponsel di tangan kirinya. Pokoknya Fabian adalah orang yang tepat untuk memasarkan produk Aqua.
Jadilah Bianca selalu menyuruh Fabian mematikan ponselnya saat menyetir, agar ia bisa fokus dan dapat mengemudi dengan baik. Jadi meski Bianca menghubunginya jutaan kali, gadis itu tetap saja tak akan mendapatkan jawaban. Namun ia tetap melakukannya, seolah hal itu dapat membuatnya tenang sedikit.
"Ini mana sih wedges satunya—BI! BI iMAHH!" Mata Winda masih menelurusi setiap kolong kamarnya namun ia tak menemukan wedgesnya di manapun. "Ikut Mama aja yuk." Ajak Winda di sela-sela mencarinya.
Wanita itu memang menyuruh Bianca memanggilnya Mama. Lagipula bagi Winda, Bianca adalah calon menantunya, tunangan Anaknya. Meski belum benar-benar resmi. Tapi jauh di lubuk hatinya, Winda meyakinkan hal itu.
"Aku gak mungkin pergi tanpa Fabian Ma, kita kan bridesmaids, masa aku jalan sendirian?" Saat Bianca menjawab, Bi Imah muncul dari depan pintu membuat Winda menoleh.
"Kenapa Bu?" tanyanya.
"Ini sepatu satu lagi mana ya Bi. Tak cariin dari tadi gak ada." Serunya. Bi Imah pun masuk dan ikut mencari bersama Winda.
Menyadari kalau wanita itu sudah tak fokus lagi padanya, Bianca pun kembali men-dial nomor Fabian. Lagi, dan lagi, meski tetap tak tersambung sama sekali.
"Yaudah Bianca, Mama duluan ya. Kamu jangan sampe telat, nanti Deva bisa ngamuk-ngamuk." Bianca menurunkan pandanannya melihat kaki Winda yang sudah terpasang rapih wedges berwarna hitam. "Iya Mah." Jawabnya.
Winda pun berjalan keluar bersama dengan Bi Imah. Ginandi sudah menunggu di dalam mobil jadi ketika Winda sudah siap, mereka pun langsung bergegas pergi. Sementara Deva sendiri sudah berada di tempat acara sejak tadi pagi. Untuk di rias dan memastikan semuanya berjalan beres.
Setengah jam kemudian tiba-tiba sambungan telpon itupun terhubung. Tak perlu waktu lama untuk nada monoton itu berubah menjadi suara pria yang di cintainya itu. "Bawel banget asli. 43 misscall? Gak sekalian sampe 100 biar dapet piring cantik?"
"Gak lucu." Timpal Bianca, ini bukan waktunya untuk bercanda. "Udah sampe?" Tanyanya sambil berdiri dan mengambil tas tangannya di atas kasur.
"Menurut ngana?"
"Tinggal jawab aja susah banget sih!" Bianca berjalan agak lambat saat menuruni tangga karena heelsnya yang begitu tinggi membuatnya sulit berjalan.
"Ya udahlah sayangku, cintaku, calon istriku." Bianca memutar bola matanya saat mendengar ucapan menjijikan dari Fabian. "Yaudah tunggu." Setelah mengatakannya Bianca pun mematikan sambungannya dan memasukan ponselnya kedalam tas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan