(If you love me, let me go)
"Gue mau nagih janji lo."
Deva menaikan sebelah alisnya, "Janji apa?"
"Janji lo, yang bilang mau ngabulin wish gue."
Raut wajah Deva pun berubah bingung, "Udah semua kan? eh yang ujan-ujanan belom ya? tapi kan lo baru sa—"
"Bukan itu." Sela Davi tiba-tiba. "Tapi buat liat lo bahagia."
"I am. Gue udah bilang kan gue bahagia kalo lo bahagia. Dan sekarang gue bahagia."
Davi menundukan kepalanya sambil mengelus tengkuknya, semakin membuat Deva bingung, "Lo kenapa sih? aneh banget." tanya deva.
Kembarannya itupun mendongakan kepala menatap Deva dengan lekat, "Tapi gue gak bahagia." ucapnya membuat Deva terkejut. "Gue capek Deva, gue udah capek kaya gini. Selama 17 tahun ini lo selalu sama gue, Lo tau kan seberapa sakitnya gue, Seberapa lelahnya gue ngadepin penyakit sialan ini. Sekarang gue ngerasa cukup, gue ngerasa kalo ini saatnya gue pergi."
"Lo ngomong apa sih? jangan ngaco! lo baru sadar dan sekarang lo bilang kalo lo capek? kalo gitu ngapain lo bangun, hah?" perkataan Deva meninggi, lelaki itu mulai tersulut emosi, entah perkataan Davi atau ia sebenarnya marah kepada dirinya sendiri yang masih saja egois dan tak ingin Davi pergi. "Gue mau pamit, Deva." deg!
Deva pun langsung menggenggam tangan Davi erat seolah ia tak ingin melepaskan anak itu, kelanya bergerak kekanan dan kirinya menolak apa yang baru saja di katakan oleh Davi, "Enggak! enggak! Gak boleh, lo gak boleh pergi, lo gak boleh kemana-mana." ucapnya.
"Mana janji lo Dev? lo harus bahagia."
"Enggak, bangsat!" Lagi-lagi Deva merasa dirinya di dorong paksa agar jatuh pada titik terlemahnya, akal Deva mulai menghilang. di tariknya tubuh Davi kedalam dekapannya seolah hanya dengan cara seperti itu ia tak akan kehilangan Davi. "Jangan kaya gini Deva." Davi mengelus punggung Deva lembut, namun lelaki itu bukannya tenang, malah semakin memeluk tubuh adiknya erat.
"Lo gak bakalan sendirian. Mama sama Papa pasti bakalan nemenin lo. Temen-temen lo juga selalu ada buat lo kan? gue yakin mereka bisa jagain lo. Dan lo masih punya Bianca, gue okey kalo lo mau pacaran sama dia." Ucap Davi lembut.
"Diem lo bangsat!"
"Dev.."
"Diem gue bilang!" Davi pun terdiam. Pikirannya di penuhi berbagai spekulasi, apakah Davi ingin meninggalkannya karena sekarang Deva sudah punya banyak orang di sampingnya, apa karena itu Davi tak lagi mau berjuang? "Gue lebih baik gak punya siapapun di dunia ini, asal lo selalu ada di samping gue. Tapi.. Tapi gue juga gak mau liat lo kesakitan terus."
Namun tubuh Deva perlahan-lahan mulai tenang, ia masih memeluk Davi namun tak seerat sebelumnya. Akal sehatnya mulai kembali. Ia mengulang perkataan Davi berkali-kali di kepalanya yang berkata kalau Davi tidak bahagia, Davi lelah. Di dalam hatinya Deva mulai mempertimbangkan untuk merelakan semuanya, setidaknya mereka masih punya waktu untuk bersama karena saat ini Davi sadar dan keadaanya stabil.
Dan entah bagaimana Davi seolah mengetahui apa yang di pikirkan dan apa yang di rasakan oleh Deva saat ini, karena lelaki itu tiba-tiba saja tersenyum, meski Deva tak dapat melihat itu. di turunkannya tangannya dari punggung Deva. "Gue pamit ya, inget janji lo."
belum sempat Deva berkata apapun, tiba-tiba Davi yang berada di pelukannya menghilang begitu saja. Deva berusaha menoleh untuk mencari Davi namun pandangannya tiba-tiba saja hitam pekat.
sekuat tenaga Deva berusaha membuka matanya, namun ketika seberkas cahaya masuk menyelinap kedalam matanya, dari pandangannya bukanlah Davi yang ia lihat, melainkan ke tiga temannya yang sedang berdiri di samping kanan dan kirinya. wajah mereka sulit di artikan, mata mereka merah dan entah bagiamana Deva tau apa yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan