Suasana di luar gelap pekat. Awan-awan kelabu itu datang dan menutupi langit yang tadinya berbintang. Ratusan air langit tumpah ruah menghajar muka bumi. Kilatan-kilatan petir bersautan mengiringi kesunyian malam itu.
Di apartemen berlantai 16 itu, seorang laki-laki duduk termenung menatap langit yang gelap. Ia sedang menonton pertandingan sepak bola saat listrik tiba-tiba mati. Ia tidak bisa tidur karena hari ini, karena tepat di tanggal ini, 12 tahun yang lalu. Seseorang yang paling berharga di hidupnya menjelma menjadi salah satu bintang di langit lepas.
Tok! Tok!
Bunyi ketukan di pintu apartementnya membuatnya menoleh. Mungkin itu salah seorang pekerja di apartement itu yang akan ingin memberitahunya kalau genset rusak lagi. Sepertinya memang ia harus membeli apartement baru.
Lelaki itupun menurunkan kakinya dari sofa dan bersalan kearah pintu masuk. Sepi sekali apartemen yang cukup luas ini jika Istrinya sedang tidak ada. Lelaki itu memutar gagang pintu jati di depannya.
Seorang wanita sudah berdiri di depannya tersenyum lebar.
"Lo pulang?" Tanya pada gadis itu sambil menyerongkan tubuhnya mempersilahkan gadis itu masuk. "Gue kira lo ke rumah Mama."
Gadis itu langsung membuka jaketnya dan duduk di atas sofa yang tadi di tempati oleh lelaki tadi.
"Iya emang, tadi udah kerumah Mama Winda terus gue ke Davi. Karena gue inget lo, jadi gue ke sini." Gadis itu menggeser tubuhnya dan membiarkan lelaki di hadapannya duduk di sampingnya.
"Gue mau pindah ke sini aja. Maksud gue ke Jakarta." Gadis itu kembali bersuara.
"Kenapa?" Lelaki itu—Deva, memasrahkan tubuhnya saat Bianca meletakan kedua kaki yang tak beralas miliknya di atas paha Deva.
"Biar gampang kalo mau ke Davi." Wajah wanita itu sendu. Ia tau sekali kalau sedang ada masalah, pasti yang di lakukannya adalah lari ke indonesia dan mendatangi mahkam Davi. Menumpahkan seluruh keluh kesahnya di sana.
"Jujur deh. Lo kenapa lagi?" Kini Deva menatapnya lekat seolah benar-benar meminta jawaban.
Bianca melemparkan pandangannya keluar jendela menatap langit yang gelap pekat dan hujan. Tangan kanannya mengusap perutnya yang semakin hari semakin membesar, kemudian gadis itu menundukan kepalanya, "Gue hamil Dev. 14 minggu, tapi Fabian kaya gak seneng sama sekali."
Entah apa yang harus Deva ekspresikan sekarang di wajahnya. Ia senang kalau Bianca akhirnya mengandung, namun mendengar Fabian tidak senang, membuatnya sedih juga. Walaupun sejujurnya Deva mengerti, karena Thalita pun sedang mengandung.
"Gue ngerti kok maksud Fabian. Kan gue ngerasain juga." Ucap Deva.
Bianca pun menurunkan kakinya dari paha Deva dan melipatnya di depan Dada. "Tapi lo beda Dev. Lo seneng bangget waktu tau Thalita hamil. Lo jagain Thalita banget. Sedangkan Fabi? Dia malah sibuk kerja, kaya gak peduliin gue sama sekali."
Deva tersenyum, bukan karena ia senang mendengar cerita Bianca. Namun karena Bianca menyebut Fabian dengan penggalan aneh. 'Fabi'. Deva masih ingat betul saat Bianca berkata kalau nama panggilan 'Fabian' terlalu panjang, kalau 'Bian' nanti serupa dengan namanya, kalau 'Abi' Bianca jadi ingat dengan Tasya. Akhirnya ia memilih 'Fabi' sebagai nama panggilannya, meski terdengar sedikit aneh.
Deva pun mengubah posisi duduknya menghadap Bianca dengan kedua kali yang di silangkan. Tangannya ia letakan di atas lulut Bianca dan menggoyang-goyangkannya lebut, "Itu karena lo gak tau apa yang gue rasain di dalemnya. Kadang gue juga ngerasa kaya Fabian."
"Emang apa sih yang lo berdua rasain sama pikirin?" Tanya Bianca masih menyimak.
"Gimana ya, kalo gue pribadi kadang suka ngerasa gak siap. Rasanya jadi suami, sama jadi seorang ayah tuh beda Ca. Gue harus mikirin masa depan anak gue, gue harus merubah sifat jelek gue, gue harus lebih dewasa karena anak itu mencontoh orang tua. Tempat pertama pembentukan karakter anak tuh di keluarga." Jelas Deva. Bianca masih terdiam menunggu Deva kembali berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
JugendliteraturIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan