(I'll see you again)
Tak ada lagi yang Deva bisa katakan. Hidupnya seolah berhenti. Jam-jam itu seolah tak berjalan seperti semestinya. Diam di tempatnya tak bergerak kemanapun. Seluruh pertahanan Deva hampir hancur namun sebisa mungkin lelaki itu menguatkan dirinya sendiri.
Di genggamnya tangan Davi di hadapannya dan mendekatkannya ke pipi. Merasakan hangatnya tubuh Davi yang akhirnya menjalar di tubuh Deva. Suara detak jantung dari mesin pendeteksi itupun masih menggema setiap kali mesin itu berbunyi, walau dalam tempo lambat, Deva merasa bunyinya berusaha meyakinkan dirinya kalau masih ada harapan.
"Belom Dav. Belom saatnya lo pergi. Gue masih gak bisa." Lelaki itu menatap wajah Davi yang matanya masih terpejam. Selang oksigen sudah bersarang di sana. Membantu lelaki itu untuk bernapas.
Namun tiba-tiba Deva teringat ucapan Davi tempo hari saat anak itu menjabarkan seberapa sakit yang ia rasakan. Seberapa lelahnya ia bertahan. Menyadarkan Deva, seberapa egoisnya ia menahan Davi untuk tidak pergi. Namun lelaki itu serasa tak sanggup untuk melepas. Ia belum bisa.
Belum sempat Deva berkata-kata lagi. Ia mendengar suster yang memanggilnya dan memintanya untuk bergantian, karena di ruang ICU itu tak boleh di jenguk oleh banyak orang. Masing-masing keluarga yang datang hanya boleh masuk satu persatu. Mensterilkan tubuhnya dan memakai pakaian hijau yang tersedia.
"Inget Dav. Bukan sekarang." Ucapnya lagi sebelum melepaskan tangan Davi dan melangkah keluar.
***
Setelah mencuci tangannya dan mengenakan pakaian hijau yang di perintahkan oleh suster yang berada di sana, Winda pun berjalan dengan gontai. Melangkah dengan tubuhnya yang begitu lemas menuju ranjang anaknya. Beberapa menit yang lalu Winda sempat pingsan saat dokter mengatakan kalau Davi kritis dan mereka angkat tangan untuk khasus ini.
Winda duduk di bangku yang berada di samping tempat tidur Davi. Menciumi tangan anaknya yang tak diinfus berkali-kali sebelum akhirnya meletakan tangan itu di pipinya. Tangan kiri Winda bergerak mengelus kening Davi, membelai rambut anaknya yang sudah berbentuk tidak karuan akibat kemo. Lagi-lagi menyadarkan Winda, betapa tersiksanya anaknya selama ini.
"Davi udah capek?" Tanya, membiarkan air matanya mengalir dengan derasnya. Namun tentu saja tidak ada jawaban, namun Winda tau pasti apa jawabannya.
"Mama harus gimana Dav? Kalo di bilang mau atau enggak? Mama gak mau dan gak bisa lepasin kamu." Winda menyeka air matanya dengan tangannya sendiri sambil menengadahkan kepalanya menatap ke langit-langit. "Tapi Davi udah capek ya, nak? Davi mau pergi?" Suara Winda benar-benar bergetar hebat.
Guncangan di tubuhnya benar-benar besar. Tentu saja karena yang terbaring lemah di hadapannya saat ini adalah darah dagingnya sendiri. Seorang ibu yang harus menghadapi kenyataan kalau anaknya sedang berada di ambang antara hidup dan mati. Hati Winda benar-benar kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan