Setelah ia membuka pintu cokelat berbahan dasar jati itu, Deva langsung mematung di tempat. Untuk beberapa detik awal ia hanya diam. Kemudian detik selanjutnya ia mengedipkan mata. Di detik selanjutnya lagi ia mengusap matanya. Mencubit lengannya sendiri dan yang terakhir adalah bertanya, "lo ngapain di sini?"
Seorang gadis yang secara misterius berada di depan matanya kini tersenyum senang. Deva memperhatikannya seolah sedang mengecek apakah gadis di hadapannya hanya delusi. Namun ketika pandangannya sampai di kaki yang berbalut sepatu vans toystory edition tersebut, Deva pun akhirnya yakin kalau ini nyata. Karena gadis menapak, tidak melayang.
"Mau ketemu lo." Ucapnya dengan enteng sekali, seolah bukan hal aneh kalau gadis yang baru beberapa bulan di kenalnya itu tiba-tiba bisa sampai di teras rumah Deva dengan selamat, sehat walafiat.
"Kok?" Deva mengedip lagi, ia masih tidak menyangka. "Tau rumah gue dari mana?" Tanyanya sekali lagi.
"Gue gak boleh masuk dulu?" Gadis itu menggerak-gerakan kakinya saat berkata, "Pegel."
"I-iyaudah." Deva pun menyerong, menahan pintu jati itu dengan tubuhnya agar gadis berbaju pink dengan balutan jampsuit denim itu bisa masuk.
Gadis itu menduduki sofa panjang yang berada di ruang tamu. Deva pun menutup pintu dan memanggil Bi Imah untuk menyiapkan minuman. Bahkan lelaki itu tak bertanya apa yang tamunya inginkan. Ia hanya meminta 2 buah susu beruang. Kemudian duduk di sofa setelah Bi Imah menyerahkan pesanannya.
"Jadi?" Tanya Deva penasaran.
Gadis itu meletakan susu yang sudah di tenggaknya setengah di atas meja, kemudian ia menatap Deva, "Oiya, gue tau rumah lo dari Abi." Tentu Deva tau kalau Abi yang di maksud Thalita adalah Fabian. Abi adalah panggilan sayang dari Tasya, kekasihnya. Dan mungkin Thalita terbawa dan memanggil Fabian dengan panggilan yang sama.
Deva mengangguk mengerti, namun sepersekian detik kemudian dia baru tersadar satu hal, "Buat apa lo nyari tau rumah gue? Dan yang lebih penting lagi, lo ngapain di sini sekarang?" Tanya Deva menganggah tubuhnya dengan lengan yang menempel di pahanya.
"Kenapa enggak?" Jawab gadis itu santai. Deva mulai berfikir kalau Thalita punya kelainan mental atau semacamnya, karena gadis itu terlihat selalu santai, seolah tak ada 1 masalahpun di hidupnya. Namun Deva tau, tipe orang seperti itulah yang sebenarnya menyimpan banyak masalah.
"Jawaban lo gak ngejawab apapun."
Thalita menyandarkan punggung di sofa dan gadis itu mengangkat kedua bahunya serempak, "Iseng?"
Deva memutar bola matanya. Kenapa gadis ini selalu menjawab pertanyaannya dengan kalimat tanya lainnya, atau kalimat yang ia tak yakin jawabannya. "Serius Tal."
"Kangen?" Kali ini Deva langsung terhenyak. Tidak marah dan tidak juga merasakan apapun. Mungkin hanya rasa terkejut. Gadis di hadapannya ini benar-benar tidak bisa di tebak.
"Tal."
"Gue serius." Kali ini nada ketidak yakinan Thalita berubah menjadi nada yang paling serius yang pernah Deva dengar.
"Jangan bercanda." Ucap Deva, berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau gadis itu hanya bercanda. Seperti yang biasa ia lakukan. Lagi pula, Thalita sudah punya kekasih bukan? Tidak mungkin Thalita benar-benar menggoda Deva. Atau mungkin, Thalita ini seorang player?
Gadis itu mengambil kaleng susunya lagi. Lebih memilih untuk menenggaknya habis dari pada menjawab Deva. Yang sebenarnya ia tak tau harus menjawab apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan