Tak bisakah kau menemaniku berburu waktu? Agar sesulit apapun itu, kita tetap bisa bersama.
Lalu saat waktu berhasil kita dapatkan, mau kah kau menemaniku meramunya? Agar aku bisa menghentikannya saat bersamamu.
Dan jika waktu telah berhenti, maukah kau tetap bersamaku selamanya? Agar matiku adalah matimu juga.
Kalaupun kau tak ingin melakukan semuanya, bersediakah kau memberikan waktu—hanya beberapa detik untuk tersenyum padaku? Karena senyummu mematikan waktu di hidupku seketika.
Dan selamanya kau akan terasa hidup bersamaku.
***
Sepatunya terlihat kotor dan tidak nyaman karena menginjak tanah basah yang habis di guyur oleh hujan. Namun gadis itu tidak peduli. Ia tetap berdiri di sana. Tidak menangis. Tidak berbicara sepatah katapun. Ia hanya berdiri di sana memandangi papan di atas pusaran tanah di hadapannya.
Alvaro Davi Delano
Baginya Davi adalah hidupnya. Dapat mencintainya dan menjadi kekasihnya adalah suatu kehormatan yang bahkan tak bisa di gantikan dengan apapun. Gadis itu perlahan namun pasti berjalan mendekat. Ia menggengam gagang payungnya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Ia berjongkok tepat di samping pusaran itu. Payung yang tadinya ia gunakan untuk melindungi kepalanya dari rintikan hujan, tiba-tiba ia geser jadi memayungi papan kayu yang menandakan tempat peristirahatan orang yang paling di sayanginya itu.
"Dingin gak Dav?" Tanyanya, tiba-tiba kepalanya memutar kejadian yang telah berlalu, dimana Davi selalu suka dengan hujan namun lelaki itu membenci dingin karena suhu badannya yang tinggi akan terasa di cabik-cabik jika terkena hawa dingin. Kini lelaki itu tertidur di sana dan mungkin merasakan rintikan hujan yang merembes melewati gundukan tanah yang menyelimutinya.
Davi pasti kedinginan, pikir Bianca.
"Gue gak nangis." Gadis itu menghela napas berat, dadanya sudah sesak sejak hari itu, saat kekasihnya pergi dan tak pernah bisa akan kembali. "Lo bangga gak?"
Di rasakannya kepala yang di selimuti oleh selendang hitam itu mulai basah karena terus terkena rintikan hujan. Namun ia tidak peduli, seolah membiarkan hujan menggantikan air matanya.
Beberapa detik kemudian tiba-tiba Bianca tersenyum hambar, "Coba lo ada di sini. Pasti kita udah main ujan-ujanan berdua." Gadis itu menengadahkan kepalanya begitu air matanya mendekat untuk keluar lagi. Ia tak ingin menangis.
Menyadari ucapannya barusan, Bianca pun melepaskan payungnya dan meletakannya di atas tanah. Sehingga rintikan hujan kembali menetes di deretan huruf dan angka pada papan kayu itu. Mengalir hingga menyentuh gundukan tanah tersebut.
"Actually, we're now." Ucapnya menatap nama Davi yang di tulis dengan tinta hitam.
Saat tangannya bergerak hendak menyentuh papan nisan, mata Bianca pun langsung menangkap sebuah cincin emas putih yang melingkar di jemarinya. Hatinya terasa pedih seketika. Luka yang masih basah itu akhirnya semakin lebar. Semakin pedih dan menyayat. Gadis itupun langsung menarik tangannya lagi dan meletakannya di depan dada. Sebelah tangannya yang lain menggenggam tangan satunya, seolah ingin menguatkan dirinya sendiri.
Perlahan namun pasti pertahanannya pun hancur. Bulir bening menyerupai kristal itupun meluncur dari matanya yang terpejam. Mengalir tanpa perintah, mengalir tanpa kendali. Isaknya terdengar lirih. Tidak meraung namun terasa pedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Genç KurguIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan