Sudah hampir 3 jam lelaki yang mengenakan kemeja putih dan celana bahan itu mengelilingi kota Jakarta namun yang di carinya belum juga ketemu. Di samping kursi pengemudi itu Fabian sedang duduk sambil mengotak-atik ponselnya, mencoba mencari lokasi yang sedang di cari oleh Deva.
Kedua lelaki itu sudah melepas tux-nya dan tanpa peduli meletakannya begitu saja di belakang. Setelah menghadiri pernikahan Javier, Deva pun menceritakan tentang rencanya untuk mengabulkan beberapa Wish dari Davi kembarannya. Dan semua temennya plus Milea—istri dari Javier, pun ingin ikut membantu. Namun karena Javier dan Milea pasti lelah sekarang dan Onad pun kebetulan sedang ada urusan. Jadi hanya Fabian yang bisa ikut dengannya sekarang.
"Dimana lagi Fab?" Deva mengusap wajahnya dengan sikut yang menempel di atas stir mobil.
"Gue baru sadar kalo lo manggil gue suka macem-macem. Kadang Bi, kadang Yan, kadang Fab." Ucap Fabian, namun ketika melihat wajah lelaki di sampingnya seperti sudah frustasi berat, Fabian pun kembali bersuara, "Ya tempat begituan kan emang susah kalo di cari. Kalo gak di cari tiba-tiba muncul. Udah sih Dufan aja."
Memang awalnya Deva ingin mengajak Davi ke Dufan sebagai gantinya Disneyland. Memang sangat jauh perbedaannya, namun mengingat keadaan lelaki itu yang tak mungkin di izinkan untuk pergi jauh pun membuat Deva memutar otaknya. Ia mendapatkan ide lain untuk mengajak Davi ketempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya, pasar malam. Namun entah mengapa Deva dan Fabian tidak bisa menemukannya di mana-mana.
"Gak asik kalo dufan. Gue mau sesuatu yang beda, biar dia bisa nginget itu , gimana ya kaya sesuatu yang spesial gitu yang gak bisa dia lupain." Fabian menghela napasnya mendengar ucapan dari sahabatnya itu. Memang benar, kalau hanya ke disneyland atau dufan saja rasanya terlalu biasa, rasanya hanya monoton dan yah setelahnya lupa begitu saja. Justru tempat-tempat yang tidak di duga-duga seperti pasar malam lah yang banyak menyisakan kenangan.
"Ngomong-ngomong, selain disneyland apa lagi yang dia mau?" Tubuh Fabian berbelok kebelakanb meraih plastik putih yang berisi snak hasil belanjaan mereka sebelum berkeliling Jakarta. Fabian mengeluarkan kacang kulit dari dalamnya kemudian menurunkan jendela kaca sampingan untuk membuang kulit-kulit yang akan di makannya.
"Minum, rokok, ujan-ujanan—"
"Nah itu gampang! Itu aja dulu." Timpal Fabian sambil melempar kulit kacang keluar. Deva pun langsung menjitak kepala sahabatnya itu. "Ngomong suka gak mikir. Mana boleh sih Davi ngelakuin itu?" Tangan Deva terjulur, mengambil beberapa kacang kemudian meletakannya di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya membuka kulit kacang dengan bantuan giginya.
"Ya sekali-sekali emang gak boleh? Lagian kan ini permintaan terakhirnya." Deva langsung terdiam mendengar ucapan dari Fabian. Lelaki itupun sadar kalau ia sudah salah berbicara, ia pun segera menggerak-gerakan tangannya di udah, "Eh bukan itu maksud gue, duh gimana ya jelasinnya, lo ngertikan?"
Berbeda dengan dugaannya yang mengira kalau Deva akan marah dan tersinggung, lelaki di sampingnya itu malah menganggukan kepala, "Iya gue tau maksud lo. Itu juga yang gue pikirin, makanya gue mau ngewujudin kepengannya dia." Jawab Deva dengan tampang lesunya, membuat Fabian merasa bersalah.
"Sorry ya Dev." Katanya lagi, benar-benar bersungguh-sungguh. Deva pun langsung menatap lelaki di sampingnya yang sudah menampilkan ekspresi pengesalan, "Gak pantes lo begitu." Ucapnya sambil melempat sebuah kacang ke arah Fabian yang entah bagaimana malah masuk kedalam kemeja lelaki itu.
"Ah kont—ci lo ah!" Fabian langsung berdiri, meski tak bisa berdiri sepenuhnya karena terbentur oleh atap mobil. Ia pun mengeluarkan kemejanya yang sebenarnya masih rapih masuk kedalam celananya. Hingga kacang yang di lempar Deva pun keluar. Membuat tersangka di sampingnya tertawa puas, terlebih ketika Fabian tak jadi berkata kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan