Hari ini Davi dan Deva berulang tahun.
Sudah banyak yang Davi alami selama 17 tahun hidupnya. Dari mulai bahagia, sedih, sakit, senang, semuanya sudah ia rasakan di perjalanan hidupnya. Kalau bisa memilih, Davi tak pernah ingin pergi. Namun karena pada kenyataannya semua orang pasti akan pergi. Dan pada waktunya Davi pergi, mungkin ia sudah siap.
Beberapa wish-nya yang lain mungkin belum bisa terkabul. Namun secara garis besar, Davi merasa cukup. Ia sudah mencoba minuman keras, merokok, berbaikan dengan Ayahnya, menghabiskan waktu dengan keluarganya, pergi ke wonderland dan yang terakhir bahagia. Davi merasa sudah cukup. Karena sisa dari permintaanya mungkin terlalu mustahil untuk menjadi kenyataan. Seperti menjadi Dokter anak dan bertunangan dengan Bianca. Bahkan Davi tak berani menanyakan kembali jawaban Bianca untuk bertunangan dengannya. Karena ia rasa itu hal yang mustahil.
Davi pun tersenyum memikirkan hal itu, padahal sekarang tangannya sedang di suntik untuk diambil darahnya, membuat dokter Hadi jadi mengerutkan keningnya. "Emang geli ya di suntik?" Tanya dokter Hadi sambil ikut tersenyum.
Davipun jadi tersadar dan merasakan sakit di lengannya, "Ash! Sakit dok." Ujarnya begitu terlambat padahal Hadi sudah mengeluarkan suntikannya dari lapisan kulit Davi.
"Saraf kamu kena kanker apa gimana nih? Kok telat sih ngerasainnya?" Sebenarnya Hadi hanya bercanda, namun raut ketidak yakinan terpancar di wajah Davi. Membuatnya jadi cemas sendiri. Sementara Davi yang cukup yakin kalau hal itu hanya karena ia sedang melamun tadi, tapi tak menampik juga kemungkinan kalau ada yang salah dari sarafnya.
"Coba tes ya." Hadi pun langsung meletakan suntikannya dan berjalan mendekati mejanya, membuka laci besar bagian bawah dan mengeluarkan sebuah palu kecil dari dalamnya. Membuat Davi ngeri sendiri.
"Ih dokter mau ngapain?" Tanyanya memundurkan posisinya sedikit. Ia pernah melihat palu kecil itu di film-film untuk mengetes apakah pasiennya lumpuh atau tidak. Namun Davi tidak lumpuh, anak itu bahkan terus menggerak-gerakan kakinya yang menggantung untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau ia baik-baik saja.
"Coba tes dulu sebentar." Dokter Hadi pun menarik kursi dan meletakanny di samping tempat tidur yang di di duduki Davi. Ia pun memukul kaki Davi dengan palu itu dengan tekanan pelan, namun Davi keburu menutup matanya karena ngeri.
"Sakit gak?" Davi terdiam, menyadari kalau ia tak merasakan apapun. Lelaki itupun membuka matanya dan menatap kakinya sendiri yang masih bisa bergerak. "Enggak Dok. Kok kaya gitu?"
"Okey, kita coba lagi ya." Dokter Hadi pun kembali mengayunkan palunya dengan ayunan yang lebih kencang dari sebelumnya. Kali ini Davi tidak memejamkan mata karen penasaran. "Berasa?" Tanya dokter Hadi.
Davi terdiam, ia memang merasakannya namun hanya seperti tersentuh, bukan seperti di pukul oleh palu besi yang berada di tangan dokter Hadi. Karena Davi tidak menjawab, Hadi pun kembali membuka mulut, "Sekali lagi ya."
Kali ini dia mengayunkannya dengan cukup kencang. Davi merasakannya namun tidak sesakit dari yang seharusnya ia rasakan. Membuat anak itu sadar kalau ada bagian tubuhnya yang tidak beres lagi. "Gimana?" Tanya Hadi.
"Berasa sih, cuma gak sakit." Jawab Davi.
Hadi pun manggut-manggut mengerti, "Cara jalan kamu masih bener? Sering jatoh gak akhir-akhir ini?"
Davi terdiam, berusaha mengingat-ingat kapan terakhir ia jatuh. Lalu ia ingat saat tubuhnya lemas di kamar sewaktu ia dan Deva bertengkar. Namun Davi tidak tau apakah itu karena gangguan sarafnya atau memang tubuhnya sedang lemas. Lalu ia juga ingat saat Ginandi harus menuntun Davi turun dari tangga karena pijakan anak itu yang tidak stabil. Davi pun menceritakannya pada dokter Hadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan