Malam mulai melarut. Hujan deras yang tadi sempat mengguyur kota Jakarta kini sudah menghilang, menyisakan kubangan-kubangan kecil di atas aspal yang tak rata. Hawa dingin mungkin begitu terasa jika mereka beranjak keluar dari dalam ruang rawat itu. Namun di dalam sana terasa nyaman, tidak dingin, tidak juga panas. Suhunya di atur sedemikian rupa agar seseorang yang sedang terbaring lemah di sana bisa beristirahat dengan tenang.
Deva masih setia duduk bersandar di sofa sambil menyesap kopi hangatnya. Ia tak ingin tidur, dokter bilang ada kemungkinan Davi akan sadar tengah malam. Oleh sebab itu Deva menunggunya. Kepala Deva yang tadinya fokus pada televisi yang sedang menyiarkan pertandingan bola pun berganti fokus memandang kearah kirinya.
Di lihatnya Bianca yang tertidur dengan posisi kepala yang berada di atas kasur dan tangannya yang masih menggenggam tangan Davi. Sejak tadi Deva sudah menyuruhnya pulang, namun gadis itu tetap saja menolak. Alhasil ia tertidur di sana dengan posisi yang tak nyaman.
Deva pun menurunkan kakinya, setelah meletakkan kopinya di atas meja kecil yang berada di sana, lelaki itu pun berjalan mendekati Bianca. Ia ingin meminta gadis itu untuk pindah tempat. Namun lelaki itu tidak tega membangunkannya. Akhirnya perlahan-lahan Deva berusaha melepaskan genggaman tangan Bianca, dan setelah berhasil, lelaki itu pun menggendong tubuh Bianca dan memindahkannya ke atas sofa. Bianca menggeliat saat Deva melepas jaketnya dan meletakkannya di tubuh Bianca, namun gadis itu tidak terusik dari tidurnya.
Deva tersenyum, di simbakannya rambut Bianca agar wajah gadis itu dapat terlihat jelas. Wajahnya tenang, meski ada kerutan samar di dahinya, menandakan tidurnya tidak nyenyak. Deva menyimpulkan sendiri kalau gadis itu masih kepikiran soal Davi yang belum juga sadar.
Deva pun kembali mengambil kopinya dan menempati tempat duduk di samping ranjang Davi, tempat yang semula di duduki oleh Bianca. Matanya melirik Davi sekilas kemudian kembali menatap kearah layar televisi yang menempel di dinding.
Hingga tangan Deva yang di letakkan tidak jauh dari tangan Davi pun merasakan gerakan halus. Deva langsung menoleh menatap Davi. Meski perlahan, namun lelaki itu akhirnya membuka matanya. "Hei." Ucap Deva dengan suara pelan.
Davi tidak bersuara, mungkin anak itu terlalu lemas untuk mengeluarkan suaranya, namun lelaki itu mengedipkan matanya, Deva tau kalau lelaki itu mendengar ucapannya.
"Ada Bianca tuh." Deva menggerakan dagunya menunjuk arah dimana Bianca berada. Dengan lemah Davi pun menoleh dan melihat Bianca sekilas kemudian kembali menatap Deva.
Dari matanya, Deva bisa menangkap segaris kecemasan dari mata Davi, "Udah gue suruh pulang, tapi dianya gak mau." Kata Deva menjelaskan.
Kepala Davi kembali bergerak, menoleh ke arah Bianca yang masih tertidur tenang tanpa terusik. Membuat Deva tau kalau adiknya itu mengkhawatirkan Bianca. Dan baru kali ini Deva terusik dengan fakta itu.
"Dia okey kok. Jangan terlalu di pikirin." Ucap Deva sambil mengelus lembut tangan Davi.
"Lo mau gue panggilin dokter?" Wajah Davi kembali menoleh kearahnya kemudian menggeleng lemah.
"Yaudah lo tidur lagi gih. Istirahat. Gue tau badan lo masih kebas semua." Setelah mendengar ucapan Deva. Lelaki berkulit pucat di hadapannya itupun langsung memejamkan matanya. Tangan kirinya ia gerakan untuk menggenggam tangan Deva meski genggamannya tidak berasa sama sekali, hanya seperti menangkupkan tangannya pada tangan Deva. Begitulah cara Davi untuk meyakinkan Deva kalau ia sudah baik-baik saja. Dan Deva pun mengerti.
***
"Sus, saya aja boleh gak?" Ujar Bianca begitu melihat seorang suster yang datang membawa baskom berisi air hangat beserta handuk kedalam ruang rawat Davi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan