Sudah hampir sejam lebih Winda dan Bianca saling bertanya satu sama lain, tidak lain dan tidak bukan topik utamanya adalah tentang Davi. Winda benar-benar tak menyangka kalau Davi mendapatkan wanita sedewasa dan seperhatian Bianca. Bahkan dari cara Bianca menatap Davi saja, wanita itu tau kalau Bianca benar-benar mencintai putranya.
Sementara mereka berbincang, sebenarnya Davi tidak terlalu banyak berbicara atau menambahkan. Karena memang kedua wanita itu asik sendiri. Pandangan Davi lebih sering menatap kearah latar televisi atau kearah jendela yang langitnya sedang terang bahkan terik. Atau pada Deva yang wajahnya tiba-tiba semeraut.
Namun pada detik selanjutnya Davi benar-benar tercekat tak bisa berkata-kata begitu di lihatnya Deva yang memandang kearah Bianca dengan tatap yang aneh. Davi jelas pernah melihat tatapan itu. Tatapan yang Deva sering perlihatkan ketika lelaki itu menatap Revanya dulu. Namun sekarang Deva menatap Bianca dengan cara pandang yang sama. Membuat Davi curiga.
Sebenarnya beberapa waktu lalu Davi juga sempat memergoki Deva yang sedang berbicara dengan Bianca melalu ponselnya. Ia tak ingin mengintrupsi dan langsung kembali ke kamarnya. Juga membaca chat Deva dan Bianca di ponselnya. Ia tak berpikir apapun hingga akhirnya ia melihat tatapan Deva beberapa menit lalu.
"Ini buat lo, Dav." Suara Bianca pun akhirnya memecah lamunan Davi. Lelaki itu langsung menoleh kearah Bianca di sampingnya yang tiba-tiba saja memakaikannya beanie berwarna merah marun.
"Ih pas banget ya." Winda pun langsung mencubit kedua pipi Davi dengan tangannya, "Davinya Mama imut banget pake itu. Selera kamu bagus Bianca."
"Mau liat." Bianca pun langsung mengeluarkan sebuah kaca berbentuk persegi dari dalam tasnya dan memposisikannya di hadapan Davi agar lelaki itu dapat melihat refleksi wajahnya. "Iya bagus, makasih Baby."
Bianca memang sengaja membelikan Davi sebuah beanie karena tau kalau setelah beberapa kali kemo terapi, maka rambut-rambut Davi akan rontok dan anak itu pasti memerlukan Beanie. Dan Bianca membelikan warna merah, karena merah adalah warna favorit lelaki itu. Bianca tau semuanya tentang Davi di luar kepala. Lebih hafal dari pada rumus fisika ataupun matematika.
Tak berapa lama kemudian tiba-tiba terdengar bunyi telpon yang berasal dari tas Winda. Wanita itupun langsung mengaduk-ngaduk tasnya mencari ponsel dan menatap layar ponselnya yang menyala. "Bentar ya Bianca." Wanita itupun melangkah keluar ruangan sambil mendekatkan ponsel tersebut ketelinganya.
Sementara Bianca langsung menatap Davi dengan senyuman khasnya, manis seperti biasanya. "Nyokap lo asik banget ya. Baik banget lagi."
"Iya dong, kan anaknya aja asik kaya gue."
"Dih." Sahut Bianca jutek. Tadi saja gadis itu pasrah sekali di panggil 'Baby' oleh Davi, bahkan beberapa kali memanggil Davi dengan 'aku-kamu' namun sekarang begitu mamanya tidak ada di hadapan gadis itu. Bianca pun langsung berubah menjadi Bianca yang biasanya.
Davi pun langsung menekuk bibirnya kebawah. Kedua tangannya di rentangkan terbuka, "Bian, mau peluk." Ucapnya manja membuat Bianca jadi malu sendiri karena di dalam sana masih ada Deva. Waktu itu Bianca santai-santai saja memeluk Davi karena tau kalau tidak ada yang melihatnya termasuk Deva yang saat itu sedang tertidur. Tapi sekarang kan lelaki itu tidak sedang tertidur. Jadi Bianca merasa adegan pelukan itu akan sangat menjijikan untuk Deva jika ia melakukannya.
"Gak mau." Seru Bianca. Namun bukannya berhenti merajuk, Davi malah menarik tangan Bianca dan membuat gadis itu jatuh dalam dekapannya. Kemudian Davi memeluknya erat hingga gadis itu tidak bisa merontah lagi. "Davi gue malu, ada Deva." Ucapnya dengan suara pelan.
Namun sebenarnya itulah yang Davi inginkan. Ia ingin menunjukan pada Deva kalau Bianca adalah miliknya. Detik itu juga Davi mengakui dalam hatinya. Kalau ia cemburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan