Keadaan lalu lintas di Jakarta ternyata padat merayap. Hampir 1 jam mereka terjebak di antara mobil-mobil beroda 4 lainnya. Bisa di perkirakan mereka hanya melaju dengan kecepatan konstan di angka 20-40 km/jam saja. Lalu lintas benar-benar tak bersahabat di tambah terik matahari yang menyengat di luar. Rasa-rasanya semakin membuat mumet semua orang.
Keadaan kedua anak yang sedang duduk di bangku penumpang itu tidak baik secara mental, meski yang wanita masih lebih baik dari yang laki-laki.
Davi pernah begini, saat akhirnya ia divonis menderita sakit lagi. Saat anak itu akhirnya jatuh koma dan tidak bangun berhari-hari. Oleh karena itu Deva benar-benar terpukul. Dejavu yang benar-benar tak ingin ia ingat.
Mereka berdua sengaja memesan mobil online, karena dalam keadaan seperti ini, sangat berbahaya bagi mereka berdua untuk menyetir.
Bianca menyandarkan tubuhnya pada punggung bangku penumpang. Sementara tangannya yang bersandar pada pintu dengan santai menyanggah kepalanya. Matanya masih setia menatap langit yang cukup cerah, berkebalikan dengan yang ia rasakan saat ini, mendung, gelap seperti malam. Hal yang sama juga di lakukan Deva. Karena ingin saling menguatkan, tangan mereka berdua pun saling bertautan tanpa ada niat untuk melepaskan. Seolah jika salah satu melepaskannya, maka mereka berdua akan jatuh ke jurang kepedihan.
Bianca menghela napasnya, ia ingin bertanya apa yang terjadi sebelumnya. Namun ia tak ingin menganggu ketenangan Deva dulu. Ia ingin Deva bisa memulihkan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum ia menceritakannya.
Banyak yang bilang pada Bianca, hubungannya dengan Davi tak akan berjalan lama. Seperti sedang berjalan pada jalan yang buntu. Tidak ada kelanjutannya dan pada akhirnya akan berhenti tanpa bisa di lanjutkan, karena Davi yang mungkin akan meninggalkannya terlebih dahulu. Tapi Bianca tak peduli. Baginya, bersama Davi di sisa-sisa hidup lelaki itu jauh lebih baik. Dari pada mencari lelaki lain.
Gadis itu tidak munafik, kadang ia memang ingin berpacaran dengan seseorang sampai mereka menaiki pelaminan, sampai mereka punya anak cucu. Bianca sangat ingin. Dan kalau boleh jujur, itulah sebab lainnya Bianca mencoba berpacaran dengan Jose dulu. Namun ia tidak bisa. Karena yang hatinya inginkan adalah Davi bukan Jose atau lelaki lainnya.
Bianca menoleh, ia memandangi wajah Deva yang sekarang memucat dengan lekat. Diam-diam Bianca tersenyum. Deva sangat mirip dengan Davi. Gadis itu membayangkan kalau lelaki yang berada di genggaman tangannya dan duduk di sampingnya saat ini adalah Davi, bukan Deva.
Gadis manis itu luruh pada imajinasinya sendiri. Di sandarkan kepalanya pada bahu Deva. Bahkan ia melepaskan genggaman tangannya dan berganti memeluk lengan Deva. Lelaki itu tentunya terkejut dan merasa aneh. Namun mengingat gadis itu juga butuh di kuatkan Deva pun tak mempermasalahkannya.
Tangan kiri Deva yang bebas pun bergerak mengusap puncak kepala Bianca dengan lembut. Meski samar Deva bisa mendengar kalau gadis itu menangis.
Menyadari kalau yang di rengkuhnya bukanlah Davi. Dan tak akan pernah bisa menjadi Davi.
***
Bianca dan Deva baru merasa tenang begitu Dokter berkata kondisi Davi sudah stabil. Namun masih membutuhkan tranfusi darah yang tentunya berasal dari Deva. Tapi berhubung kondisi lelaki itu kurang baik dan belum makan sejak tadi pagi. Maka dokter menyuruh Deva untuk mengisi perutnya terlebih dahulu dan menenangkan diri.
Dan di sinilah mereka sekarang, di kantin rumah sakit yang berada tidak jauh dari UGD. Kantin yang cukup ramai itu justru sangat sepi bagi mereka yang pikirannya kabur kemana-mana. Meski lelaki berkaus hitam itu tidak napsu makan sama sekali, ia tetap saja memaksakan dirinya untuk makan, demi Davi. Sementara Bianca di hadapannya hanya meminum Jus.
"Lo gak ngabarin orang tua kalian?" Tanya Bianca di sela-sela Deva makan. "Gue yakin nyokap udah tau." Jawab Deva sekenanya.
"Terus bokap lo?" Tanya Bianca sekali lagi. "Dia gak peduli sama Davi." Jawab Deva jutek.
Satu hal yang Deva tau tentang ayahnya itu, ia tak pernah menginginkan anak kembar. Dan begitu Deva dan Davi lahir, terlebih saat tau kalau Davi tidak sempurna, maka ayahnya langsung tidak menyukai Davi. Setiap pulang kerumah, ia hanya mementingkan Deva. Membawakan Deva oleh-oleh dari tempatnya kerja. Benar-benar membuat Davi iri setengah mati namun anak itu tak pernah menunjukannya, meski Deva sendiri tau.
Dan Deva tak suka dengan hal itu. Ia tak suka di perlakukan berbeda. Toh mereka berdua sama-sama anak ayahnya kan?
Bianca memilih diam, ia tak ingin membahas sesuatu yang lagi-lagi akan merusak mood Deva. Maka dari itu, Bianca mencoba menggangi topik pembicaraan. "Enak ya kembar, hampir semua susunan tubuh lo sama kaya Davi. Kadang gue juga pengen bantu dia."
Deva mendongakkan kepalanya menatap Bianca, "Lo gak sadar ya Ca? Lo tuh selalu bantu Davi." Deva memberi jeda untuk meminum teh hangatnya, "Contohnya hari ini, kalo gak ada lo, mungkin gue cuma nangis di rumah sekarang. Dan gak bisa donorin darah buat Davi." Deva tersenyum. Jelas itu senyuman yang berbeda dengan Davi, tapi Bianca bisa yakinkan dirinya sendiri kalau kadar manisnya tetap sama.
"Kadang gue seneng banget ngeliat lo." Ucap Bianca jujur, meski melenceng dari percakapan awal mereka.
Deva pun mengangkat sebelah alisnya bingung, "Kenapa?"
Gadis berkulit putih itupun meletakan kedua lengannya di atas meja, kemudian memajukan wajahnya. Hanya beberapa detik karena kemudian Tangan kanannya tiba-tiba mengelus wajah Deva dan membuat lelaki itu kikuk sendiri, "Mata lo," tangan Bianca menyentuh mata Deva yang pupilnya berwarna hazel, "Hidung lo," kini jari telunjuk Bianca berada di ujung hidung Deva.
Tangan Bianca baru akan menyentuh bibir pink Deva ketika anak itu tiba-tiba menggagalkan rencananya dan menarik tangannya menjauh. "Kecuali bibir lo. Semuanya mirip Davi."
Deva masih tertegun, tidak menduga sebelumnya kalau Bianca akan melakukan dan mengatakan hal-hal seperti itu. Sementara jantungnya berdegub sangat kencang, Deva terus meyakinkan dirinya kalau semua itu di lakukan Bianca karena Deva sangat mirip Davi. Hanya mirip, bukan berarti Bianca menyimpan rasa yang sama padanya seperti halnya pada Davi.
Deva pun mencoba mengontrol mimik wajahnya kemudian tersenyum. Di lepaskan sendok dari tangan kanannya kemudian ia menyentuh bibirnya sendiri, "Bibir gue beda sama Davi? Apanya? Rasanya? Haha." Ucap Deva bercanda.
Bianca pun langsung mendengus geli, "Ih bukan itu. Bibir Davi tuh tipis, kalo lo lebih berisi."
Deva pun terkekeh, "Iya, bibir Davi ngikutin nyokap, gue ikutin Bokap." Bianca pun mengangguk mengerti.
Setelah melirik mangkuk makanan Deva yang sudah kosong, Bianca pun berucap, "Udah yuk kita ke dalem lagi." Deva menganggukan kepalanya.
"Lo duluan aja, gue bayar dulu."
Bianca pun langsung berdiri dari tempatnya, sementara Deva beranjak menemui ibu penjual bubur di kantin. Setelah membayarnya. Deva pun bergegas berjalan menyusul Bianca yang belum berjalan jauh. Hingga tersisa beberapa langkah saja jaraknya dari Bianca, namun Deva menolak mendekat.
Ia memilih berada di posisinya, memperhatikan rambut panjang Bianca yang terurai cantik dan sedikit bergelombang. Pikirannya entah untuk beberapa saat melantur kemana-mana. Mengingat semua kejadian hari ini. Dimana Bianca menenangkannya, dimana gadis itu menggenggam tangannya, dimana Deva merasa memiliki pegangan baru di hidupnya. Bahkan Deva pun pernah menjadi penguat gadis itu, memeluknya saat Davi memutuskan hubungannya dengan Bianca waktu itu. Kenapa baru sekarang pikiran itu muncul dengan liarnya, membuat perasaan Deva jadi tidak tenang.
Lelaki itu menghela napasnya kasar, bolehkah? Bolehkah Deva menjadikan Bianca sandarannya, selamanya?
***
Recommend film, sekarang film korea, mungkin udah pada tau ini ya, ada di youtube kok, tokohnya cancer : more than blue.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan