Gadis itu mengangkat tangannya keudara ia memainkan jemarinya hingga sorot lampu menyelinap dari jemarinya. Kakinya yang terlipat bergerak-gerak seolah tak mau diam. Hingga tangannya terasa pegal. Ia pun menurunkannya.
"Lo gak bisa gini terus Tal." Suara Tasya mengintrupsi keheningan yang menjelma menjadi keabadian pada seminggu belakangan ini. Namun gadis itu tetap tak terusik. Mata kosongnya masih menatap kearah lampu kamarnya. Ia membayangkan kalau cahaya lampu itu adalah pintu menuju surga, dan ia sedang nerfikir bagaimana bisa menggapainya, dan masuk kedalamnya.
"Tal!" Panggil Tasya. Sesungguhnya gadis itu sudah kehabisan akal untuk mendekati sepupunya.
"Call me Lita." Perintah Thalita yang Tasya tau benar apa alasannya. Karena seseorang itu selalu memanggilnya dengan penggalan itu, dan Thalita tidak menyukainya sekarang.
"Ya okey, tapi at least lo liat gue sekarang." Thalita tidak menoleh. Masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia mulai mendapat ide. Mungkin mati adalah jalan keluarnya. Caranya agar bisa menembus cahaya itu.
Tasya menghela napas lemah, "Lita, Please."
Mendengar namanya di sebut sesuai dengan permintaannya, gadis itupun akhirnya menoleh menatap Tasya meski pandangannya tetap kosong. Sekarang sepupunya itu bisa melihat lingkaran hitam dan kantung mata yang mulai membesar di wajah Thalita. Bibirnya putih dan pecah-pecah. Jangan lupakan wajahnya yang sepucat mayat. Benar-benar membuat Tasya merasa iba.
"Ikut gue yuk. Pacar gue ulang tahun, dia ngajak ke beer garden. Mungkin lo mau minum?" Tasya membujuk sepupunya yang sedang dalam keadaan buruk itu. Tipikal Tasya, yang akan menyalutkan kekalutannya pada minuman keras. Gadis itu beranggapan kalau Thalita juga sama sepertinya.
Hal yang tak ia duga pun ternyata terjadi, Thalita menganggukan kepalanya setuju. "Gue ikut." Ucapnya datar, namun mampu membuat Tasya merasa lebih tenang dan tersenyum.
***
"—Dia leukimia btw." Thalita menutup mulutnya seketika mendengar cerita dari seseorang yang baru di kenalnya beberapa menit yang lalu. Tidak menyangka kalau ia harus mendengar nama penyakit itu lagi di dalam hidupnya. Padahal sejak tadi ia berusaha bersikap normal, menjadi manusia yang hidup untuk beberapa waktu lalu ketika memasuki tempat remang itu. Namun kini pertahannya mulai goyah.
Pikiran thalita pun tidak fokus, melantur kemana-mana, namun ia mencoba mendengarkan dengan baik apa yang Deva katakan. Sesekali menyahuti namun sebenarnya pikirannya kosong. Ia masih berusaha terlihat baik-baik saja padahal tidak sama sekali. Dan untungnya lelaki di sampingnya sedang mabuk, jadi mungkin ia tak terlalu menyadarinya.
"Davi lebih berharga dari apapun."
Kata itu langsung terdengar begitu saja di telinga Thalita. Suara Deva sebenarnya biasa saja, namun di telinga Thalita, entah mengapa saat ia mendengar kalimat itu terucap, suara Deva menjadi lebih keras seperti sedang menggunakan microphone, hingga dengingan nyaring terdengar di telinganya sendiri. Nyaringnya memekakan telinga, meredam segala suara di yang ia dengar.
Kalvin lebih berharga dari segala
Kini ia mendengar suaranya sendiri bergema di pikirannya. Sebuah ingatan-ingatan lansung berkelebat di kepalanya seperti kaset rusak. Ingatan itu terus berputar seolah di percepat 2 kali lipat, kemudian menjadi 3 kali lipat, 4 kali lipat hingga akhirnya denging itu terdengar lagi. Memorinya hilang. Yang tersisa hanya rasa sesak dan penyesalan di dalam dadanya.
Tangannya pun bergerak menepuk lengan Deva pelan, "Kalo gitu. Gak seharusnya lo minum lagi Deva. Lo udah punya alesan yang cukup kongkret untuk berenti. Tapi kenapa lo masih aja begini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan