Banyak yang bilang padanya kalau ini mungkin tidak mudah, mungkin ini akan sakit. Namun gadis itu tidak tau kalau semuanya akan sesulit dan sesakit ini. Begitu sakit hingga ia tak bisa lagi merasakan kedua kakinya yang menapak, atau kerja paru-parunya yang serasa tak lagi mengirup oksigen masuk. Atau gadis itu memang sudah tidak bernafas lagi? Entahlah.
Bianca menghembuskan napas. Sudah hampir setengah jam ia berada di dalam sana, tidak mengatakan apapun. Hanya mendengarkan mesin pendeteksi jantung yang berbunyi dalam ritme lambat, seperti sebuah lagi yang mengiris hati namun menenangkan. Kepalanya di letakan di atas ranjang Davi menghadap kearah lelaki itu dengan salah satu tangannya yang masih menggenggam tangan Davi erat.
Sesaat kemudian, Bianca pun mengangkat kepalanya, menatap mata Davi yang terpejam damai. Gadis itu sudah tidak menangis lagi. Seolah seluruh air matanya sudah habis. Banyak sekali yang ingin ia katakan namun ia tak tau apa yang ingin ia bicarakan terlebih dahulu.
Gadis yang masih mengenakan gaun putih berlapis pakaian hijau itupun kembali mengambil napas dalam, kemudian berkata, "Tukang riasnya banci loh Dav. Kalo lo tadi kesana, pasti lo di godain." Entah apa yang ada di pikirannya. Ketimbang membicarakan hal yang ada di hatinya, hal random itulah yang keluar dari mulutnya.
"Cincinnya bagus gak? Gue belom liat loh, semoga lo milih ukurannya yang pas sama jari gue ya." Lagi-lagi Bianca membicarakan hal Random yang tentunya tak akan di jawab oleh Davi.
Gadis itu mengangkat tangan Davi yang di genggamnya dan memain-mainkan jarinya. Jari Davi yang bahkan seukuran dengan jarinya, mungkin bedanya hanya lebih panjang saja. Bianca memandangi tangan Davi yang kurus. Ia baru menyadari betapa kurusnya tubuh Davi. Jauh lebih kurus dari pada terakhir kali gadis itu bertemu dengannya, saat ulang tahun Davi dan Deva.
Otak Bianca jadi memutar kembali kenangan itu. Saat mereka duduk berdua di teras rumah, membicara soal pertunangan mereka. Davi berkata kalau ia benar-benar senang namun juga gugup.
Kemudian pandangan Bianca kembali memandang wajah Davi yang pucat, "Cemen ah! Belom juga acaranya mulai, lo udah tumbang. Sejak kapan sih pacar gue cemen gini?"
Bianca mulai resah. Ia tak suka melihat Davi selemah ini. Anak itu selalu berusaha kuat, lebih tepatnya sok kuat, saat bersama Bianca. Lelaki itu selalu mengembunyikan rasa sakitnya dengan lelucon-lelucon yang sebenarnya tidak lucu itu. Dengan kalimat-kalimat anehnya, seperti membicarakan tentang Bi Imah, atau mengatai Bianca dengan sebutan Babi atau badak.
Lagi-lagi pikiran Bianca memutar kaset berisi kenangannya bersama Davi. Gadis itupun kembali menggenggam tangan Davi kuat sambil sesekali mendongakan kepalanya, agar air matanya tak bisa turun. "Kalo manja lo di club waktu itu cuma buat pamit. Mending lo jadi bangsat aja sekalian, gak usah manis-manis, biar lo gak usah pergi." Ucapnya.
Pandangan Bianca pun mulai memburam karena air mata yang di tampung kelopak matanya sudah siap untuk meluncur keluar. Air mata yang ia kira sudah habis itu, seolah tak pernah berakhir untuk Davi.
"Enggak deng. Lo bukan pamit kan waktu itu? Lo gak akan pergi kan Dav? Lo cuma lagi istirahat doang kan Dav? Nanti lo bangun lagi kan kaya waktu itu? Iya, gue tau, pasti iya." Bianca tersenyum samar mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau semua akan berjalan baik-baik saja.
Tiba-tiba sebuah suara dari arah belakangnya membuat Bianca menoleh, di lihatnya seorang suster berpakaian hijau dan juga masker hijau itu sudah berdiri di sampingnya. Sebenarnya sudah sejak tadi ia di minta untuk keluar. Namun Bianca mengacuhkan begitu saja. Dan Ginandi pun menyuruh suster tersebut untuk memberi mereka waktu.
"Maaf, waktu menjenguk sudah habis."
Meski berat Bianca pun akhirnya menganggukan kepalanya, ia berdiri dari tempatnya. Menyeka air mata kemudian mengecup kening Davi cukup lama.
"Jangan lupa bangun ya."
Dan gadis itupun tersenyum kearah Davi sebelum benar-benar meninggalkan ruangan putih itu.
***
Entah apa yang terjadi, Deva mengerjapkan matanya berkali-kali saat memandang adiknya yang sedang duduk di atas tempat tidur, segala alat yang melekat pada tubuhnya sudah di lepaskan dan Davi benar-benar terlihat membaik, meskipun wajahnya masih pucat.
"Sini Dev." Panggilnya pada kakak kembarnya itu.
Deva pun melemparkan pandangannya pada Winda, Ginandi dan Bianca yang berada di samping kanan dan kiri tempat tidur Davi.
Tidak lama setelah ia pergi tadi, Onad pun menghampirinya, menahan niatan Deva yang hampir saja menyebrang jalan tanpa menoleh dan pikiran kosong. Onad menarik tubuh Deva saat sebuah mobil hitam hampir menabrak tubuhnya. Sahabatnya itupun langsung menampar wajah Deva dan membuatnya seolah tersadar dari apapun yang mempengaruhi tubuhnya.
Onad memaki-maki Deva dengan berbagai kata kasar, ia bilang kalau Deva tak seharusnya seperti ini. Deva lemah dan Onad mengingatkannya kalau Davi mungkin saja akan bertahan, bagaimana jika Deva menabrakan dirinya sementara Davi ternyata terbangun? detik itu juga Deva pun tersadar. dan bersama Onad ia pun kembali menghampiri ruang ICU.
Namun Davi sudah tidak berada di sana. Sebelum Deva berpikiran negatif, seorang suster mendatanginya dan berkata kalau adiknya sudah sadar dan kondisinya yang sudah stabil membuatnya di pindahkan ke ruang rawat biasa. Deva pun langsung tersenyum senang, tanpa menunggu lama lagi, lelaki itu langsung berlari ke ruang yang di beritahu oleh suster tersebut. Onad tetap setia mengekorinya.
Dan di sinilah Deva berada sekarang, di sebuah ruang rawat bernuansa biru dan putih dengan Davi yang berada di pandangan matanya, hidup dan terlihat lebih baik. lelaki itupun melangkah mendekat, membuat Winda dan Ginandi menyingkir untuk memberinya jalan.
Deva baru akan duduk di kursi samping tempat tidur saat Davi kembali bersuara, "Di sini aja." lelaki itu menepuk space kosong di hadapannya, kakinya yang di silangkan di atas tempat tidur membuat tempat tidur itu memiliki space lebih. Deva pun menurut dan duduk di hadapan Davi setelah membuka sepatunya dan ikut duduk bersila.
"Gimana keadaan lo?" tanya Deva seolah masih tidak percaya dengan pandangan matanya.
Davi menggerakan kedua tangannya seolah memperlihatkan dirinya yang sudah baik-baik saja, "As you can see." ucapnya membuat Deva tersenyum senang.
lelaki yang masih mengenakan pakaian rumah sakit itupun melemparkan pandangan pada kedua orang tuanya, Bianca dan juga Onad secara bergantian, "Bisa tinggalin kita dulu gak? Aku ada yang mau di omongin sama Deva." pintanya.
Winda pun berjalan mendekati Davi, di elusnya kepala Davi lembut kemudian mencium keningnya, "Iyaudah, kalo ada apa-apa langsung bilang ya." Winda meleparkan pandangannya kepada Deva dan Davi yang segera di beri jawaban anggukan kepala.
"Gue di depan ya." Ucap Bianca, gadis itu menepuk halus tangan Davi sebelum keluar dari ruang rawat bersama Winda, Ginandi dan juga Onad.
Setelah memastikan mereka semua pergi, Davi pun menatap kearah Deva dengan pandangan yang berbeda, benar-benar serius bahkan lebih dari pada yang biasanya. Di tatap seperti itu, Deva pun mengerutkan keningnya, "Kenapa sih? sok-sok misterius gitu deh lo, mau ngomong sama gue aja harus berdua." ucap Deva.
"Gue mau nagih janji lo."
***
A.n.
Gue tau lo pada pasti akan mencaci maki gue karena part ini gantung juga wkwkkw tapi tenang gais gue lagi berusaha supaya entar malem bisa post lagi.
Gue baru sadar banyak banget gue nulis typo, biarin lah ya. Sakarep gue aja hahah gue bales baca ulang kalo udah selesai ngetik wkwk pemalas.
Okay deh, Kalian jangan sedih. Davi okay😊
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Ficção AdolescenteIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan