Ketika sedang asik-asiknya berada di dunia mimpi, tiba-tiba saja Davi merasa perutnya mual. Lelaki itu berusaha bangun dengan susah payah meski sekujur tubuhnya lemas. Bahkan ia tak menyadari kalau ia berkeringat, sampai-sampai kaus berbalut jaket yang di kenakannya basah.
Davi mendorong pintu kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Bahkan lelaki itu juga memuntahkan darah dari mulutnya.
Tubuh Davi pun meluruh, jatuh terduduk di lantai kamar mandi. Kepalanya pusing, ia pun memejamkan matanya, karena segala hal kini terlihat berbayang di matanya. Lelaki itu mencoba mengatur napasnya. Mencoba mengembalikan kekuatan di tubuhnya lagi. Ia tak ingin membangunkan Deva ataupun menyusahkan lelaki itu lagi.
Davi pun kembali mencoba berdiri meski dengan susah payah. Ia menekan tombol di klosetnya hingga tak ada bercak darah lagi yang terlihat. Lelaki itu mengusap wajah pucatnya berkali-kali dengan air di westafel. Kemudian keluar dari dalam kamar mandi.
Ia baru menyadari satuhal. Bahwa kamar Deva yang berada di samping kamar mandi itu terbuka. Deva tak pernah membuka pintu kamarnya ketika tertidur. Dengan terseret-seret lelaki itupun mengintip ke kamar Deva. Dan ternyata tak ada orang di sana.
Apa Deva terbangun juga?
"Dev.." Ucapnya parau mencoba mencari Deva sambil menuruni tangga rumahnya dengan berhati-hati. "Deva.." Lelaki itu berada di ruang televisi, namun tak menemukan lelaki itu di sana.
Davi menoleh kearah dapur namun lampunya mati dan tentunya tak ada orang di sana. Dimana sebenarnya Deva?
"Dev.." Panggil Davi lagi sedikit lebih kencang. Namun masih tidak mendapatkan jawaban.
Davi pun melangkah keluar rumahnya, dan di lihatnya mobil Deva yang tak berada di tempatnya. Deva pergi membawa mobilnya jam 2 dini hari. Kemana sebenarnya ia pergi?
Lelah, Davi pun duduk si salah satu kursi yang berada di sana. Kakinya di naikan agar tidak menyentuh lantai yang dingin. Lelaki itu sebenarny menggigil berada di luar rumah dalam keadaan yang lemas seperti ini. Namun Davi menolak masuk. Ia khawatir. Davi ingin menunggu Deva pulang.
Tak berapa lama kemudian orang yang di tunggupun datang, Deva memarkirkan mobilnya sebentar untuk turun dan membuka pintu gerbangnya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara gaduh. Namun begitu menoleh kearah pintu masuk. Lelaki itu langsung menangkap sosok Davi yang duduk di teras dengan melipat kedua kakinya di depan dada.
Deva pun terkejut bukan main. Namun kakinya langsung melangkah mendekati Davi tanpa memperdulikan mobilnya yang masih berada di luar gerbang.
"Lo ngapain di sini sih, di sinikan dingin. Ayo masuk." Deva berusaha membangunkan tubu Davi dari tempatnya namun lelaki itu menahan tubuhnya agar tetap berada di posisinya.
"Lo dari mana?" Tanya Davi begitu dingin. "Nanti gue jelasin, yang penting lo masuk dulu sekarang, angin malem gak ba—"
"Gue tanya lo dari mana?!" Suara Davi pun meninggi membuat Deva tersentak di tempatnya berdiri. "Club." Lelaki itu bahkan menundukan wajahnya ketika menjawab.
"Karena Revanya? Lo begini lagi gara-gara Revanya?"
"Enggak, Dav!"
Davi mengusap wajahnya frustasi, "Terus karena apa, hah? Lo gak mungkin minum lagi tanpa alesan."
Deva ingin sekali menjawab yang sejujurnya kalau kesehatan Davi adalah faktor utamanya, dan soal Revanya juga tentunya. Namun lelaki itu mengurungkan niatnya. "Gue cuma di undang Fabian. Itu aja."
Ekspresi Davi mulai melunak. Salah satu keinginan Davi adalah Deva bisa kembali seperti dulu—bukan pemabuknya tentu saja. Namun Davi ingin Deva bergaul lagi. Mempunyai teman lagi dan tak melulu mengurusi penyakit Davi. Dan mendengar ucapan Deva barusan, Davi pun sedikit melunak dan mencoba mengubur rasa kesalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan