Mall yang tak begitu besar itu terlihat cukup ramai dan padat. Namun beberapa orang yang berlalu-lalang memasuki berbagai toko untuk berbelanja dan makan itu seolah tak punya niat untuk pergi, atau setidaknya diam di tempat.
Setelah hampir setengah jam memilih cincin untuk pertunangannya, akhirnya Davi yang di temani oleh Deva pun berjalan keluar dari gedung berAC itu. Deva sudah jengah di dalam karena begitu banyak orang, seperti semut-semut yang sedang berkumpul, itulah sebabnya Deva tak pernah suka pergi ke Mall saat liburan seperti ini.
"Dev, bentar." Panggilan dari Davi yang berjalan di belakangnya pun membuat Deva menoleh. Di lihatnya Davi yang sudah menopang tubuhnya dengan tangan yang berada di lutut seperti sedang ruku.
Deva pun langsung mengambil langkah besar mendekati Davi dan menyentuh punggungnya lembut, "Lo gak apa-apa?" Tanya Deva khawatir, namun lelaki itu berusaha setenang mungkin.
Tiba-tiba Davi meremas dadanya dengan sebelah tangan, masih pada posisi yang sama, sehingga Deva harus ikut merunduk untuk melihat keadaan Davi. "G-ak.. Gak bisa.. Napas." Ucapnya tersenggal-senggal membuat Deva berkeringat dingin. Panik.
"Kerumah sakit ya?" Tanya Deva langsung berusaha menegakan tubuh Davi berniat membantunya untuk berjalan. Namun belum juga hal itu ia lakukan, tubuh Davi sudah meluruh ke lantai hitam basement. Terduduk di sana sambil mencoba bernafas. "Astaga Davi!"
Deva berjongkok di hadapan lelaki itu, melihat Davi kesulitan bernafas, membuatnya juga menjadi sesak. "Masih kuat jalan? Kita ke rumah sakit ya?" Tanyanya lembut.
Davi pun menggelengkan kepalanya, "Ja-jangan.. Ke rumah.. Sakit." Napas Davi semakin tersenggal, suaranya jadi terasa begitu sesak. Seolah ia membutuhkan tenaga ekstra hanya untuk berbicara.
"Jangan batu!"
Tanpa aba-aba Deva pun langsung meletakan tangannya di lipatan kali Davi dan lehernya, lelaki itupun langsung mengangkat tubuh Davi. Tidak begitu sulit karena berat badan Davi yang memang lebih ringan darinya. Tentu saja karena kanker sialan itu menggerogoti berat badannya juga, membuat Davi semakin kurus di setiap harinya.
Setelah berada di samping mobil, Deva pun menurunkan kaki Davi, menyanggah tubuh anak itu dengan sebelah tangannya, sementara sebelah tangan lainnya merogoh kunci mobil di saku celana dan kemudian membuka pintu di samping pengemudi.
Deva pun meletakan tubuh Davi di sana. Memakaikannya Seatbelt agar tubuh Davi yang lemas tak terombang-ambing saat mobil itu melaju. Lalu ia menutup pintu dan memutari mobil, duduk di bangku pengemudi.
"Dev.. Jangan, Please. Gue.. Gak mau di rawat.. Besok gue tunangan. G-gue, gak mau ngecewain.. Bianca."
Deva mengerang di tempatnya, memandangi Davi yang terus meringis sakit meski lelaki itu berusaha untuk menahannya. Napasnya putus-putus. Deva tau kalau Davi butuh bantuan dokter sekarang, butuh oksigen untuk membantunya bernapas dengan baik. Namun Deva juga tau, jika ia membawa Davi ke rumah sakit sekarang, maka anak itu harus menetap di rumah sakit. Dan pertunangannya tak akan berjalan seperti semestinya.
Namun bagaimana jika sakit Davi malah semakin parah? Bisa-bisa Davi tak akan mendatangi acara pertunangan itu. Karena lihatlah anak itu sekarang, meringkuk di jok depan, tak sanggup berjalan, bagaimana kalau besok semakin parah? Deva benar-benar dilema.
"Pl-please.. Dev." Davi memohon. Sambil menarik lemah lengan swearer Deva. "Gue janji.. Bakalan, baik-baik aja. Gue.. Gue cuma butuh istirahat." Ucap Davi lagi berusaha meyakinkan Deva.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Ficção AdolescenteIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan