"Biar gue aja"
Revanya tiba-tiba muncul dari pintu UKS, gadis itu berjalan menuju ranjang Deva dan duduk di pinggirnya. Sama persis seperti yang sebelumnya Bianca lakukan. Dari tempatnya, Bianca dan Davi pun saling melirik, bahagia karena nyatanya gadis itu peduli dengan Deva.
"Udah gak apa-apa?" Tanyanya memperhatikan kaki Deva yang di bebat.
Deva pun mengangguk, "selow."
"Dari mana selow, tadi aja teriak-teriak kesakitan." Sambar Davi yang langsung di hadiahi tatapan mematikan dari Deva.
"Lo beneran mau bawa mobil gue. Nanti lo balik gimana?" Tanya Deva dari pupil matanya terpancar rasa bahagia namun juga khawatir.
Belum juga Revanya membuka mulut, Bianca langsung menimpali, "Gini deh Revanya bawa mobil kalian. Gue bawa motor, jadi nanti baliknya Revanya bareng gue." Tuturnya.
"Nah iya tuh, gitu aja. Revanya satu komplek kan sama Bian? Jadi cewek gue ada yang nemenin." Ucapnya setuju.
Akhirnya mereka semua pun mengangguk setuju. "Yaudah, gue izinin ke BK dulu deh ya." Bianca langsung bangkit dan meninggalkan UKS tanpa menunggu persetujuan dari mereka.
"Gue ambil tas dulu deh, sekalian tas kalian." Revanya menepuk pelan kaki kiri Deva yang tidak di bebat. Kemudian keluar dari UKS.
Kini tersisalah Deva dan Davi berdua di dalam UKS. Sementara Deva menyandarkan punggungnya pada dinding, Davi masih memandangi kembarannya itu dengan senyum yang mengembang.
"Asik kali ya nanti kita double date." Seru Davi sambil memainkan alisnya, membuat Deva menoleh.
Wajah Deva langsung berubah lesu, "Double date dari mana. Jadian juga enggak gue." Lelaki itu menghela napasnya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Kan nge-date gak harus jadian. Oh atau lo pengennya jadian nih? Ngarep banget gak ceritanya?" Ledek Davi di akhiri dengan tawa mengejek. Deva pun berniat melempar lelaki itu dengan bantal, namun mengingat kejadian sebelumnya. Lelaki itu pun mengurungkan niatnya kembali.
"Tai ah Dav." Ucapnya jutek.
"Tai mah bau Dev" timpalnya.
"Eh, Lo gimana deh bisa kumat?" Ucap Deva mengganti topik. Beberapa waktu yang lalu tepatnya berbarengan dengan terkilirnya kaki Deva, Davi tiba-tiba saja mimisan dan mengeluh pusing. Padahal anak itu tak mengikuti pelajaran olahraga dan hanya duduk di kelas. Akhirnya ia di bantu anak-anak yang masih berada di kelas menuju UKS untuk beristirahat.
Banyak yang mengira Davi kambuh karena kontak batinnya dengan Deva. Ataupun Deva terkilir karena ia merasakan tubuh lemas yang di rasakan Davi. Padahal bukan itu, tapi entahlah, Deva dan Davi sendiri tidak mengerti.
"Nggak." Raut wajah Davi pun langsung berubah kecut dan membuang muka.
"Serius gue." Deva menegakkan tubuhnya dan memandangi Davi lekat.
Namun belum juga lelaki itu menjawab, Revanya dan Bianca sudah kembali kesana. Dan tanpa membahas apapun lagi, mereka pun pulang ke rumah. Membuat Deva hatinya menjadi tidak tenang.
***
Deva sedang memeriksa obat-obatan Davi, apakah ada yang habis atau tidak. Kakinya terasa jauh lebih baik setelah di urut oleh Bi Imah. Namun sedikit nyeri masih ia rasakan, membuat lelaki itu jalannya masih terlihat aneh. Sementara Davi sedang berbaring sambil memainkan ponselnya.
Dari tempatnya, Deva pun menoleh kearah Davi. "Besok kerumah sakit ya." Ucapnya. Namun Davi hanya diam saja, tidak menanggapi, hanya memainkan ponselnya.
"Dav, Besok ke rumah sakit." Serunya sekali lagi.
"Nggak." Ucap Davi singkat. Entah bagaimana semenjak pulang ke rumah, mood Davi hancur berantakan. Bahkan Bianca pun sampai bertanya apa yang terjadi dengan lelaki itu. Namun ia tidak menjawab. Dan Deva sendiri tidak tau.
Deva pun langsung berjalan mendekati tempat tidur Davi, tanpa permisi lelaki itu langsung mengambil ponsel Davi dan meletakkannya di nakas.
"Apaan sih Dev!" Ujar Davi sewot sendiri.
"Lo yang apaan! Kenapa sih lo, hah?!" Mendengar Deva membentaknya, Davi pun tak menanggapi. Di miringkannya tubuhnya memunggungi Deva tanpa menjawab apapun. Namun Deva tidak tinggal diam. Di tariknya bahu Davi hingga lelaki itu berada pada posisi semula.
"Diem kenapa sih Dev!" Emosi Davi mulai meluap-luap.
"Kerasukan ya lo?"
"Gak lucu." Davi berniat membalik kembali tubuhnya namun gerakannya kalah cepat dengan tangan Deva yang menahan tubuh lelaki itu.
"Ngomong gak lo!"
"Ngomong apaan sih?" Deva mengeram gemas sendiri dengan adiknya yang mendadak jadi sok misterius.
"Kenapa lo begini? Ada yang ganggu pikiran lo apa gimana? Kita emang kembar tapi gue bukan peramal yang bisa baca pikiran lo, gimana gue bisa bantuin lo kalo gitu Dav?"
Melihat Davi masih terdiam, Deva pun kembali membuka mulut, "dulu lo bilang kalo lo cuma punya gue, gue cuma punya lo. Kita janji bakalan cerita segalanya kan?"
Davi pun melunak. Namun belum juga ia membuka mulut. Kepalanya langsung di serang pening yang luar biasa. Perutnya berubah sakit seperti ada yang meremasnya dengan tenaga ekstra. Davi pun meringis sakit membuat Deva panik seketika.
"D-dev, obat." Serunya di sela-sela rintihan sakitnya.
"Bangsat! Lo gak minum obat dari tadi?" Dengan kesetanan Deva pun langsung mengambil obat-obatan Davi dan memberikan kepada adik kembarnya itu.
Sambil menunggu obatnya bereaksi Deva di grogoti rasa khawatir melihat ringisan Davi dan darah yang sudah mengalir di hidung adiknya. Dengan cepat Deva pun mengambil beberapa lembar tisu dan membersihkan darah dari hidung Davi. Anak itu selalu seperti ini kalau sudah banyak pikiran, apalagi ia tak meminum obatnya.
Perlahan-lahan tubuh Davi pun melemas. Mimisannya pun berhenti. Deva dengan tenangnya mengelap keringat Davi yang begitu deras di keningnya. Perlahan namun pasti kesadaran Davi mulai terenggut, jatuh kedalam alam mimpinya.
"Gue capek Dev." Gumamnya dengan mata terpejam.
"Iya, lo istirahat ya." Deva mengelus pelan wajah Davi yang pucat. Kalau sebagaian saudara laki-laki lain tak mau melakukan hal-hal seperti itu, berbeda halnya dengan Deva, bahkan lelaki itu pernah membersihkan muntahan Davi saat Bi Imah sedang pulang kampung.
Deva sangat menyayangi Davi. Sangat. Jadi kalau Davi meninggalkan Deva, bisa di pastikan lelaki itu akan jatuh pada titik terlemahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan