"Deva!! Sumpah nyontek pr buruan-buruan."
Davi langsung berlari menuruni tangga sambil berteriak menghampiri kembarannya yang sudah berada di meja makan sedang duduk santai menikmati roti bakarnya. Namun begitu mendengar ocehan Davi, laki-laki itu pun langsung merogoh tasnya dan mengeluarkan buku tulis bersampul ungu. Jangan dulu men-judge Deva, sampul ungu itu memang di wajibkan oleh gurunya khusus untuk pelajaran matematika.
Dengan cepat Davi pun berusaha menyalin semua yang berada di buku Deva tanpa meneliti terlebih dahulu. Lagi pula, Deva kan pintar, pasti tidak akan salah.
Tugas matematikanya yang banyak itu pun membuat Davi tak sempat lagi untuk memakan sarapannya. Melihat hal itu, Deva pun langsung menyodorkan sepotong roti bakar ke arah mulut Davi, yang dengan patuh langsung di kunyahnya.
"Kalo tiap pagi lo gini terus, kapan majunya hidup lo Dav." Celoteh Deva yang di acuhkan oleh Davi.
"Den Davi jaketnya di pake dong." Ujar Bi Imah yang datang sambil membawakan jaket abu-abu milik Davi. Mendengar celotehan dari sana sini membuat Davi jadi kesal sendiri, padahal dirinya sedang panik mengerjakan PR dari guru terkiler di sekolahnya.
Setelah 3 hari menginap di rumah sakit, Davi pun merengek minta pulang.
Mungkin satu satunya kesamaan Deva dan Davi selain wajah mereka yang mirip adalah karena mereka sama-sama tidak menyukai bau khas rumah sakit. Davi pun akhirnya pulang dan baru satu hari di rumah, anak itu sudah merengek lagi minta diizinkan untuk pergi ke sekolah.
Anak itu memang tidak bisa diam sama sekali. Ia benci kalau harus berada di rumah dan tidak melakukan apapun. Padahal kalau sudah di sekolah pun, anak itu suka malas sendiri dan memilih pergi ke kantin atau tidur di perpustakaan.
"Buru sih Dav." Deva melirik jam yang menggantung di dinding utara ruang makannya. Waktu sudah menjukkan hampir jam 7 pagi. Kalau saja Jakarta bukan kota macet, mungkin mereka tidak akan terlambat kesekolah kalau berangkat jam segini. Namun nyatanya, macet adalah ciri khas kota jakarta. Dan mereka pasti akan terlambat lagi.
"Selesai." Davi pun langsung mengembalikan buku Deva dan memasukan bukunya kedalam tas.
Setelah mengenakan jaketnya. Anak itu langsung berlari meninggalkan Deva menuju mobil sambil berteriak "Buruan dong Dev." Membuat membarannya itu lantas memutar kedua bola matanya.
*
Benar saja dugaan Deva. Mereka berdua terlambat masuk kelas. Sebagai salah satu hukuman, Deva dan Davi harus hormat kepada tiang bendera selama 1 jam pelajaran pertama. Namun karena kondiri Davi, Deva pun memohon kepada guru piket agar Davi tidak menjalani hukumannya. Dan berhasil.
Davi memang tidak harus memberi hormat pada tiang bendera seperti yang di lakukan Deva. Namun anak itu tetap tidak bisa mengikuti jam pelajaran pertama. Jadilah yang di lakukan Davi hanya duduk di samping lapangan sambil menemani Deva menyelesaikan hukumannya.
"Tau gini gue gak usah ngerjain PR, gak boleh masuk juga." Davi berdecak, melipat kedua tangannya di depan dada sambil memperhatikan Deva.
"Tapi kan nanti tetep di kumpulin tugasnya Dav." Sahut Deva melirik Davi dari sudut matanya. Sebenarnya alasan Davi mengerjakan PR hanya karena ia tak ingin di kena omel dari bu Frida guru matematikanya. Namun karena ia tak masuk kelas, tentunya dirinya tak bertemu Bu Frida, jadilah ia menganggap kalau tugas yang di kerjakannya itu sia-sia saja.
"Capek gak Dev?" Tanya Davi santai.
"Lo pikir?" Davi pun terkekeh mendengar jawaban Deva. Satu-satunya orang yang tak pernah memperlakukan Davi seperti orang sakit hanyalah Deva. Ya walaupun kalau sisi protekifnya muncul, Deva bisa lebih bawel dari orang tuanya ataupun Om Juan.
"Lama-lama lo item deh Dev berjemur mulu. Guru-guru gak kreatif banget ngasih hukuman." Sahutnya bercanda.
"Terus lo maunya gue di hukum kaya gimana? Bersihin satu sekolah? Atau ngecat tembok satu sekolah? Ogah deh gue, mending begini aja." Jawab Deva yang nyatanya menanggapi serius ucapan Davi. Kadangan memang Deva terlalu serius, kaku.
"Yaudah ah, gue beliin lo minum dulu. Jangan kemana-mana." Perintah Davi yang membuat Deva serentak memutar bola matanya, "lo pikir gue bakalan kemana-mana?"
"Enggak juga sih hehe." Anak itupun langsung berlari menuju kantin. Meski sakit, namun anak itu terlihat jauh lebih aktif dari pada Deva.
Kalau saja ada orang yang tak mengenal mereka berdua, pasti orang itu akan mengira kalau Devalah yang sebenarnya sering sakit. Karena tingkah Davi benar-benar tidak seperti orang sakit sedikitpun. Berbeda dengan Deva yang terlihat dingin dan kaku.
"Nih!" Deva langsung menoleh kearah kirinya begitu suara gadis yang di kenalinya terdengar. Gadis itu rupanya datang membawa minuman dingin untuk Deva.
Setelah menoleh ke kanan dan kirinya, memastikan kalau tak ada guru yang sedang berada di sekelilingnya, Deva pun langsung membuka minuman itu dan menenggaknya hingga tersisa setengah.
"Davi mana? Kok gak di hukum bareng?" Tanya Revanya gadis di sampingnya itu.
"Beli minum katanya tadi. Dia mana boleh sih berdiri begini di bawah matahari." Tutur Deva yang sudah kembali menegapkan tubuhnya dan tangan kanannya membentuk hormat.
Gadis di sampingnya itupun langsung menepuk keningnya. Bagaimana ia bisa lupa kalau Davi tidak boleh terlalu lelah? Sebenarnya bukan hanya Revanya ataupun Deva yang mengetahui tentang penyakit Davi di sekolah ini, melainkan seperti satu sekolah telah mengetahuinya.
Davi memang tidak merahasiakan kondirinya dan malah membukanya terang-terangan. Karena menurutnya percuma saja di tutupi, toh semua orang pasti akan mengetahuinya suatu saat nanti. Saat Davi pergi untuk selamanya, misalkan?
"Eh Revanya, gak masuk kelas?" Mendengar suar Davi pun membuat kedua pasang mata itu menoleh, lelaki itu berjalan sambil menenteng dua buah minuman di tangannya.
Revanya menenggeleng, "Gue izin ke toilet tadi." Jawabnya.
"Oohh—nih Dev." Ujarnya sambil menyodorkan minuman kepada Deva.
"Udah minum kok gue, dari Revanya." Jawabnya singkat.
"Yaudah gue ke kelas dulu ya." Kata Revanya yang tanpa mendengar jawaban si kembar langsung berlari menuju kelasnya.
"Ehm! Ada yang bentar lagi jadian nih ya kayanya." Goda Davi sambil mencolek dagu kakaknya. Tentunya hal itu membuat Deva risih. "Apaan sih lo, udah sana ah."
"Kiw.." Sekali lagi Davi mencolek dagu Deva sebelom akhirnya lari menuju tempat duduknya semula di samping lapangan. Meninggalakan Deva yang wajahnya mulai memerah. Entah karena panas atau godaan dari Davi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan