Meski hari sudah begitu larut namun tangan kekar yang uratnya nampak begitu jelas itu masih sibuk membuka map yang berisi lembaran-lembaran kertas penting.
Wajahnya sudah kacau semerawut memandangi deretan kalimat hasil pemeriksaan, CT-Scan dan hasil cek darah dari putranya. Begitu kertas yang di carinya tidak ia dapatkan, buru-buru Ginandi meraih ponselnya. Dan menelpon seseorang yang sudah berada di contact ponselnya. Dan mengapit ponsel tersebut diantara telinga dan bahunya.
"Hallo." Ucapannya dengan nada yang begitu kalut membuat seseorang di seberang telepon mengerutkan dahinya bingung, "Ada apa Gi?" Tanya seseorang dari dalam benda persegi panjang itu.
"Yang tanggal 25 gak ada, Di?" Hadi, seseorang yang berada di seberang telpon itu langsung mengerti arah pembicaraan Ginandi. Ini juga yang ia khawatirkan sejak awal.
"Itu, udah di kirim ke rumah mu Gi. Aku gak sempet fotocopy." Tangan Ginandi yang tadinya masih bergerak membolak-balik kertas pun akhirnya terdiam. Tangannya langsung mengusap wajah frustasi.
"Kamu gimana sih? Kan aku bilang fotocopy semua dan kirim ke aku tanpa terkecuali. Aku ini ayahnya, Hadi!"
Tanpa Ginandi tau, bahwa teman SMAnya itu juga ikut-ikutan frustasi memdengar nada suara yang di berikan olehnya. "Maaf Gi. Kemarin pasien aku lagi banyak."
"Aku gak mau tau Hadi! Yang aku mau tau itu gimana kondisi Davi sekarang! Gimana kondisi anakku!"
Sejak awal Davi di nyatakan terkena leukimia. Ginandi langsung menghubungi sahabat SMAnya yang berprofesi sebagai dokter spesialis. Bahkan Hadi masih dapat mengingat jelas saat Ginandi bersimpuh di hadapannya, meminta agar Hadi bisa menyembuhkan Davi.
Namun Hadi tak bisa memberi janji yang pasti. Karena leukimia bukan hal remeh. Bukan penyakit yang setelah minum obat langsung sembuh. Bahkan obat-obatan yang di milikinya hanya memperlambat sel kanker, bukan menyembuhkannya. Namun Hadi berkata kalau ia akan berusaha sebisanya untuk menyembuhkan Davi.
Setiap hari, meski berada di tempat yang jauh. Ginandi selalu menanyai kondisi Davi pada Hadi. Bahkan Ginandi menyuruh orang untuk mengawasi kedua putranya. Yang justru Deva kira adalah suruhan Mamanya.
Lalu saat Hadi menjatuhkan Vonis umur Davi yang tak lama lagi. Ginandi langsung mengamuk besar. Ia sampai tak ingin pulang karena tak berani melihat putranya yang sebentar lagi akan meninggalkannya. Namun ternyata takdir berkata lain. Davi mampu bertahan hingga akhirnya ia di nyatakan sembuh.
Ginandi begitu lega. Namun ia tak pernah mengubah sikap acuhnya. Ia tak ingin terlihat lemah seperti istrinya yang selalu menangis ketika mendapat kabar tentang kondisi Davi. Ia juga tak mau seperti Deva yang setiap saat ada di samping Davi dan menjaga anak itu. Yang Ginandi lakukan hanya menjaganya dari jauh. Mengacuhkan anak itu agar ia bisa belajar tangguh. Padahal Ginandi sudah menganggap kalau Davi adalah anak yang sangat tangguh karena sanggup bertahan hingga sejauh ini.
Dan tiba-tiba penyakit itu datang lagi, dunia Ginandi runtuh seketika. Sikapnya semakin dingin kepada Davi. Ia mencoba menguatkan dirinya sendiri, mengacuhkan Davi agar saat anak itu pergi, Ginandi tidak hancur. Meski dengan cara seperti itu, Deva jadi membencinya. Putranya yang bahkan rela mati untuk kembarannya itu, membenci dirinya.
Namun Winda tau benar maksud Ginandi. Tau benar kalau Ginandi menyayangi Davi bahkan lebih dari rasa sayangnya pada Deva.
"Davi, Davi cuma punya waktu satu tahun lagi Ginandi. Selanjutnya aku hanya bisa menyerahkannya sama tuhan." Ucapan Hadi seolah seperti petir yang langsung menyambar Ginandi seketika.
"Brengsek!" Umpatnya kesal. "Davi gak boleh meninggal Hadi! Dia gak boleh ninggalin saya!"
"Kamu harus banyak berdoa Ginandi. Dan saya sarankan kamu untuk pulang. Temui dia. Jangan sampai kamu menyesal."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Half
Teen FictionIni hanya tentang si kembar Davi dan Deva. Dimana yang satu berjuang untuk hidup dan yang satunya lagi tak ingin kehilangan