Tidak ada yang lebih indah selain suara adzan yang berkumandang diwaktu subuh. Aris keluar dari kamar mandi lalu melilitkan sarung untuk menutupi tungkainya. Sementara Ayumi masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Setelah istrinya mengambil posisi di belakangnya, Aris memimpin sholat dua rakaat seperti biasa. Setelah menggumamkan salam di akhir shalatnya, Ayumi mencium punggung tangan Aris. Suara salawat masih terdengar sayup-sayup dari masjid di komplek itu.
"Suara Ilham bagus ya, Pa." kata Ayumi sambil melipat mukenanya. Aris menoleh lalu mengangguk pelan. Untuk hal ini, ia tidak ingin menyangkal. Suara merdu Ilham sering hadir di waktu-waktu tertentu dalam bentuk adzan, juga shalawat seperti pagi ini.
"Papa mau cari yang kayak apa lagi, sih. Ilham itu udah menantu idaman banget loh, Pa." kata Ayumi.
"Papa belum siap kehilangan Lala." kata pria itu sambil berdiri lalu keluar dari kamar. Berjalan mendekati kamar Lala dan membuka pintu setelah mengetuknya. Berniat membangunkan anak perempuannya untuk sholat subuh.
Tapi, betapa terkejutnya ia saat melihat Lala sudah berdiri di samping ranjang, tengah melipat alat sholatnya.
"Lho, kamu udah bangun, La? Tumben. Papa baru mau bangunin kamu."
"Udah, Pa. Tadi mas Ilham yang bangunin Lala." jawab gadis itu sambil tersenyum.
Aris tertegun. Dilihatnya anak semata wayangnya. Anak yang sudah dijaganya mati-matian. Anak yang sampai saat ini masih terasa seperti putri kecilnya. Anak yang tumbuh dengan kedua tangannya. Anak yang tak pernah luput dari pengawasannya.
Sekarang, ia melihat bahwa anak semata wayangnya jatuh cinta. Pada seorang laki-laki yang sebenarnya sudah dikenalnya dengan baik. Anak dengan background orangtua divorce namun tetap bisa berdiri tegak dengan kakinya sendiri. Ia harus mengakui bahwa Ilham cukup dewasa dan juga sukses.
Tapi, sesempurna apapun kriteria pria yang mencintai anak perempuannya. Ia tidak bisa. Ia tidak yakin bisa merelakan anak perempuannya keluar dari rumah demi mengabdi dengan suaminya. Memindahkan baktinya dari ibu dan ayahnya, ke suaminya. Ia tidak ingin rumahnya kembali sepi sepeninggal Lala. Ia tidak ingin melihat anak semata wayangnya membagi cinta keluarga dengan orang lain. Sungguh, ia belum siap. Bukankah umur Lala masih terlampau muda? Bukankah Lala masih butuh banyak waktu untuk menikmati hidup dan mencoba berbagai hal.
Apa Lala tidak terlalu muda untuk menanggung segala tugas seorang istri. Apa anaknya bisa? Apa Ilham cukup bisa memaklumi kalau Lala masih belum bisa melaksanakan tugas istri dengan baik.
***
Ilham menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah Lala saat melihat gadis itu tengah mengobrol dengan Aris di beranda rumah. Ia menekan klakson dan melihat dua pasang mata itu menengadah ke arahnya. Gadis itu tersenyum lalu berlari keluar dari gerbang.
"Mau ke kantor, Mas?" tanya Lala. Ilham keluar dari mobil lalu mengangguk.
"Iya. Kamu ke kampus jam berapa?" tanyanya.
"Jam sepuluh kayaknya. Tergantung Made jemputnya jam berapa sih."
Mata Ilham melirik ke arah Aris yang tengah menatapnya tajam.
"Nih, tadi pagi aku buat salad buah." Ilham mengambil kotak makan melalui jendela mobil yang terbuka.
"Wah... buat Lala?"
"Bukan, buat Haji Ardhana." kata Ilham seraya berbisik sambil terkekeh ringan. Ia mendekat ke arah gerbang dan melihat Aris masih menatapnya tajam. Mengawasi gerak-geriknya seakan Ilham akan berbuat sesuatu yang jahat pada anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BiangLala [TAMAT]
Любовные романыBagi Lala, Ilham itu nyaris sempurna. Ganteng, soleh, mapan, sayang sama orangtua. Satu-satunya yang kurang adalah sifat juteknya. Jika melihat Lala, Ilham langsung menyalakan sinyal darurat. Tapi, bukan Lala namanya kalau pantang menyerah. Ia melak...